Pendidikan Nasional VS Pendidikan Internasional

>> Tuesday, 17 March 2009

Sebagian dari kita masih rancu membedakan antara pendidikan internasional dan sekolah internasional. Di antara pendapat yang berkembang menyebut bahwa pendidikan internasional itu berciri khas seperti: Guru-gurunya adalah orang–orang asing, yang dalam kegiatan belajar-mengajarnya menggunakan bahasa Internasional. Lalu, kurikulumnya menggunakan kurikulum asing, seperti Singapore Curriculum, Australian Curriculum, dan yang semisal dengan itu. Sebenarnya, standar pendidikan internasional bukan sekadar pendidikan yang menggunakan tenaga pengajar asing dan harus berbahasa internasional. Itu, sekadar kulitnya. Pendidikan internasional harus dimaknai sebagai pendidikan yang menjadikan anak didik dapat berpikir secara terbuka, berwawasan luas, mengetahui dan memahami issue internasional (open and international minded). Maksud international minded adalah bahwa –sekarang dan kelak- para anak didik (akan) menjadi manusia yang 'berwarga-negara internasional' (dikenal dengan istilah global citizen), dimana kelak mereka mempunyai kemampuan berdaptasi untuk hidup bersama sebagai bagian warga dunia yang menjunjung tinggi nilai kedamaian dan kemanusiaan, saling menghormati terhadap berbagai perbedaan baik ras, suku. dan agama, serta mempunyai kesiapan baik keilmuan maupun pengalaman dalam mengarungi kehidupan global dengan landasan spiritual yang kuat. Jadi, pendidikan internasional bukan sekadar kulit belaka, namun lebih pada esensi yang terletak di dalamnya yaitu di aspek pembelajarannya.
Dalam pendidikan internasional, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional, seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Artinya, anak didik diberi pendidikan tentang hidup dalam suasana damai di dunia dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam four pillars of education in UNESCO, ada empat dasar pendidikan, yakni: Learning to know (belajar untuk mengetahui); Learning to do (belajar untuk bertindak); Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang yang bermanfaat); dan Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan sesama dengan landasan saling menghormati dan saling menghargai). Pertanyaannya sekarang adalah apakah sistem pendidikan kita sudah mengacu ke sana? Apakah dengan dicanangkannya kurikulum baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kelak akan muncul manusia Indonesia yang berbudi luhur dan berpikiran global? Semua ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama. Perguruan Islam Raudlatul Jannah, sebagai sebuah Lembaga Pendidikan, sadar akan adanya perubahan ini. Bahwa siswa perlu penambahan wawasan menyeluruh sedemikian rupa dasar keagamaannya yang kuat dapat lebih kukuh dengan diberikannya pengetahuan global dan ketrampilan hidup, sehingga mereka mampu menjadi bagian dan sekaligus mengambil sejumlah peranan dari komunitas dunia, dengan tetap memegang teguh nilai dan norma agama, hukum, dan moral. Intinya, di titik ideal, kemampuan belajar (learning skill) siswa yang dikembangkan dari setiap potensi dan kefitrahan yang mereka bawa sejak lahir tidak hanya bertumpu pada thinking skill (ketrampilan berfikir) saja -sebagaimana misi diadakannya Ujian Nasional (UNAS)-, namun seluruh potensi dan keunikan siswa harus terus dikembangkan melalui spiritual skill (kemampuan dalam menjalankan perintah agama), social skill (kemampuan berintraksi sosial), comunication skill (kemampuan berkomunikasi dengan baik), research skill (kemampuan mengadakan penelitian secara sederhana) dan problem solving skill ( kemampuan untuk dapat mencari sebuah solusi yang cerdas terhadap segala permasalahan sesuai dengan peran masing-masing).

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP