Dunia Pendidikan antara Merdeka atau Mati

>> Tuesday 18 August 2009


AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?


AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?

Kemerdekaan merupakan hak setiap bangsa untuk dapat diperjuangkan di muka bumi ini. Begitu pula halnya kemerdekaan di dunia pendidikan kita, masih harus terus diperjuangkan. Saya benar-benar terharu, yang namanya wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (Wajar Dikdasmen) masih dicemari oleh berbagai pungutan yang sangat membebani para orang tua yang lagi kesusahan. Abang becak, pegawai pabrik yang kena PHK; PNS jujur semuanya menjerit ketika mendaftarkan anak tercintanya ke SD, SMP atau SMA Negeri diharuskan menyerahkan uang masuk yang sudah dipatok oleh pihak sekolah dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Begitu pula halnya UU guru dan dosen yang sudah capai-capai dilahirkan oleh para anggota DPR yang terhormat kenyataannya tak ada bedanya dengan UU pokok agraria. Memang, apa hendak dikata kita ini sudah terkenal pandai membuat konsep tapi belum pandai menerapkannya.

Kemerdekaan di dunia pendidikan kita tampaknya masih berupa angan-angan. Sekali lagi saya sangat terharu. Ketika pada bulan Juli lalu, banyak orang tua menjerit karena anak tercintanya masuk SMP, SMA bahkan perguruan tinggi (PT) mesti pakai duit dengan jumlah semakin melangit. Jadinya orang berada menderita, orang tak punya sengsara. Ini lah salah satu tanda dunia pendidikan kita belum merdeka. Kemerdekaan ternyata belum juga dirasakan oleh kebanyakan guru dan dosen. Guru sebenarnya lebih mending, PP nya lagi dibikin; tetapi bagaimana dengan PP dosen ?. Tampaknya dosen mah jalan sendiri saja lah. Oleh karenanya tak usah lah tanya-tanya. Mengapa kita kalah maju sama Malaysia ?. Mengapa Vietnam masuk delapan besar, sedangkan PSSI tidak ?. Kita tahu sendiri lah jawabnya. Dunia pendidikan kita belum merdeka.

Ironis memang. Di satu pihak orang kecil begitu bersemangatnya ingin menyekolahkan anak tercintanya guna merubah nasib keluarga, namun di pihak lain biaya sekolah yang membumbung tinggi menghadangnya bagai barrier yang mesti dilewati. Akhirnya di musim PSB/PMB, pegadaian bahkan rentenir kebanjiran konsumen.

Yang tidak bisa menggadaikan barang dan tidak mau pergi ke rentenir, terpaksa dengan deraian air mata melepas anaknya ke perempatan jalan. Jadi pengamen dan atau pedagang asongan. Memang, kemiskinan amat dekat dengan kebodohan.

Dunia pendidikan kita ternyata baru bisa menciptakan kesenjangan. Senjang kaya – miskin, karena memang dunia pendidikan kita tren nya seperti untuk orang kaya saja. Saya kira cukup sulit bagi orang miskin untuk bisa memasukkan anaknya ke SMP Negeri, bila diharuskan bayar ratusan ribu rupiah.

Dunia pendidikan kita belum merdeka sangat dirasakan oleh para tukang becak, ketika diharuskan membayar biaya sekolah anaknya yang disamakan dengan anak para pengusaha. Penyamarataan bayaran biaya sekolah rasanya kurang adil, sama halnya dengan pembedaan layanan guru terhadap anak orang kaya dan anak orang miskin. Dalam hal ini lah pemerintah mesti turun tangan, jangan hanya pada saat kampanye saja.

Terus terang kita prihatin melihat perpustakaan yang tak menarik untuk dikunjungi, melihat ruang kelas bagaikan kandang ayam; melihat pungutan pada siswa baru dengan dalih yang terasa di buat-buat.

Apa lagi dunia pendidikan tinggi kita sekarang ini cenderung didominasi oleh orang yang berduit saja. Hitungannya sudah bukan jutaan lagi tapi puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Bayangkan saja untuk bisa kuliah melalui jalur apa lah namanya di Fakultas Kedokteran Unsoed, orang tua harus mampu menyediakan uang 100 jutaan rupiah. Sekarang ini yang boleh dikatakan paling murah hanya ke Fakultas Pertanian, karena memang mencangkul sih pekerjaan yang sedang terpinggirkan.

Ironis sebenarnya orang-orang kampus sendiri yang hidupnya hanya untuk ilmu, kesejahteraannya boleh dibilang kurang menggembirakan bila dibandingkan dengan orang kampus yang kerjanya seperti burung alap-alap.

Kemerdekaan pendidikan di negeri ini boleh dikatakan semakin luntur. Anggaran BOS menggelontor, tapi orang tua murid selalu dihantui oleh keharusan beli buku. Buku gratis pemberian pemerintah, tampaknya sudah tinggal kenangan. Dulu waktu zaman normal kita itu masih bisa baca buku milik negara. Sekarang mah baca buku pinjam dari kakak kelas pun sering terganggu oleh yang namanya pembaruan kurikulum.

Saya kagum pada Bupati Kabupaten Muba Provinsi Sumsel yang telah mampu melaksanakan Wajar 15 tahun secara gratis alias tanpa pungutan (Republika, 6/7-2007). Saya hormat walaupun belum puas pada Bupati Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat yang telah mampu menolak permintaan izin penjual buku pelajaran (”PR”

, 3/7-2007). Saya gembira walaupun belum nyata pada Wali Kota Bandung yang mau menaikkan gaji guru (”PR”, 25/7-2007). Namun saya masih prihatin melihat gonta-ganti kurikulum lalu gonta-ganti buku pelajaran. Saya prihatin melihat bandelnya UN lalu bimbingan test semakin marak. Dikemanakan wibawa orang tua yang tidak mampu menyayangi anaknya lewat bimbel ?. Apa khabar para pengajar di sekolah, yang kemerdekaannya terus diganggu ??. Guru yang dibanggakan tergerus oleh bimbel yang sudah jadi kebanggaan.

Seiring dengan turunnya dana BOS sudah saatnya manajemen pendidikan ditegakkan. Sekolah yang masih kekurangan dana jangan minta ke murid, minta lah ke pengusaha yang berkelas konglomerat yang suka menabung di Singapura. Hindarkan beban anak-anak kita dari soal pungutan uang, agar mereka dapat fokus pada prestasi. Saya bangga melihat pelajar kita yang mampu menyabet emas di Olimpiade Fisika. Sebaliknya saya prihatin ketika melihat pelajar kita pakai anting mungkin sedang over acting saking pusing ngemutan uang pungutan. Namun saya tetap kagum, ketika melihat isi tas pelajar kita yang berat-berat itu ternyata masih dijejali oleh buku-buku agama pegangan kita.

Begitu pula seiring dengan terealisasinya 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN, sudah saatnya UU guru dan dosen diimplementasikan. Nasibnya jangan seperti UU pokok agraria sebatas jadi pajangan saja. Mohon maaf, PP untuk Dosen sepertinya tak teragenda dalam bahasan di DPR.

Belum merdekanya dunia pendidikan kita ini, tampaknya memerlukan campur tangan Pak SBY. Pak SBY, seorang presiden yang begitu telaten dalam memberikan penghargaan. Hanya saja sayang, penghargaan kepada dosen belum saya lihat beliau berikan. Kata salah seorang anggota DPR mah, dosen itu kulturnya lain. Saya tak tahu, apa yang dimaksud kultur lain itu. Apakah dosen itu sama dengan malaikat yang tidak punya nafsu keduniaan ?. Wallahualam. Yang jelas dosen itu sekali saja berbuat khilaf, langsung masuk penjara.

Ya Allah, kata Pak Rokhmin Dahuri. Di mana, keadilan di negeri ini ?. Saya yang handeueul teu kacepretan akhirnya hanya bisa berucap, Ya Allah, semoga kebenaran di negeri ini ditampakkan. Yang benar itu benar, yang salah itu salah. Dirgahayu HUT RI. Merdeka! (diambil dari Harian Pikiran Rakyat : Dr. Dedy Sufyadi)



Read more...

MAKNA KEMERDEKAAN DALAM PENDIDIKAN

>> Sunday 16 August 2009



Baru saja kita memperingati 63 tahun kemerdekaan Indonesia. Momentum itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya guna merefleksikan apa saja yang sudah dilakukan untuk bangsa, sembari memikirkan solusi untuk keluar dari jeratan krisis.Tidak kalah pentingnya, perlu dilakukan penyegaran sekaligus pembaruan model peringatan kemerdekaan, dari sekadar seremonial tanpa makna menjadi spirit yang membangun semangat nasionalisme dan kebangsaan.
Pembaruan dan penyegaran itu, salah satunya bisa dilakukan dengan membenahi sistem pendidikan bangsa. Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan saat ini, telah melenceng jauh dari cita-cita para pendirinya (founding father), khususnya pada masa-masa prakemerdekaan.


Sejarah membuktikan bahwa pendidikan memberi kontribusi yang besar dalam membidani kelahiran kemerdekaan. Melalui pendidikan, tokoh seperti R.A. Kartini, R. Dewi Sartika, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan Teuku Moh. Syafei, menanamkan jiwa dan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Pendek kata, para tokoh itu membangun visi dan misi pendidikan dalam bingkai kebangunan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan.
Ki Hajar Dewantara, misalnya, mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dengan tujuan ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Ki Hajar meyakini, penyadaran melalui lembaga pendidikan adalah usaha yang manjur. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh.
Contoh lain, dengan didirikannya organisasi Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1926), dan dicetuskannya Sumpah Pemuda (1928). Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi untuk mempertahankannya, generasi muda yang terpelajar itu tidak sekadar mampu merancang organisasi atau menjadi aktivis, tetapi mereka juga memiliki keberanian dan strategi untuk membangun kekuatan bersenjata yang dikenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP).
Pendidikan dikebiri
Sayangnya, model pendidikan yang menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka itu, dicerabut dan dikebiri dari sistem pendidikan saat ini. Alih-alih, bukannya menjadi sarana memerdekakan peserta didik, tetapi justru membelenggu, memenjarakan, dan menindas. Itu dapat kita lihat dengan adanya kebijakan sertifikasi guru, kebijakan membalik rasio SMK dan SMA, penyamaan ujian akhir nasional (UAN) SMK dengan SMA, dan sebagainya.
Belum lagi, biaya pendidikan yang terasa kian mahal dan hampir tak terjangkau rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari masyarakat yang seharusnya dilayani. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan murah, baik, dan berkualitas tidak akan pernah terwujud.
Pada aspek filosofi, pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan. Bahkan, pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan pelajar. Wajar jika spirit kemerdekaan, kebebasan, dan pencerahan sulit ditemukan dalam sistem dan praktik pendidikan tersebut. Tidak ada ruang dan waktu yang memadai bagi terjadinya liberasi yang mendorong sikap mental para pelajar untuk menjadi manusia merdeka.
Hasil lulusan atau output pendidikan yang jauh dari spirit kemerdekaan dan kebangsaan, kata Amien Rais (2008), hanya menghasilkan pemimpin, pengusaha, parlemen (anggota DPR), jaksa dan sebagainya, yang bermental inlander, penjilat, dan rela dijadikan budak korporasi-korporasi besar milik Amerika dan sekutu-sekutunya. Sebagai contoh, ketika kekayaan alam berupa minyak, gas, batu bara dan emas, dijarah beberapa perusahaan Amerika, para pemimpin berjiwa inlander itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Spirit kemerdekaan
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, selain mengambil semangat dan spirit kemerdekaan, untuk merancang pendidikan bangsa berjiwa merdeka. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan ini bisa diwujudkan paling tidak dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan egalitarianisme, dalam menyusun visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran, kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru.
Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi antara siswa dan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog, dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang transparan, dan sebagainya.
Pendidikan juga perlu menanamkan sikap kritis pada anak didiknya. Melalui model pendidikan seperti itu, terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya.
Spirit kemerdekaan dan pendidikan kritis, kata Asep P.B. (2006), akan menumbuhkan kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Mereka akan mampu melakukan transformasi diri menjadi orang-orang yang terbebaskan, lantaran institusi pendidikan dan lingkungan memberikan ruang dan iklim yang kondusif.
Selain itu, eksistensi pendidikan yang memiliki spirit kemerdekaan akan diperhitungkan dalam konteks demokrasi. Artinya, pendidikan dipercaya punya pengaruh yang positif bagi demokratisasi, sekaligus menghasilkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dalam perspektif ini, pendidikan bisa dilihat sebagai sebuah institusi untuk menginternalisasikan dan menyosialisasikan kemerdekaan, prinsip kemandirian, dan nilai hak asasi manusia harus bisa dijalankan. Semoga.[]
Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi 18 Agustus 2008



Read more...

MENGINTIP SISTIM PENDIDIKAN MALASYIA

>> Friday 14 August 2009


Malaysia, Singapura dan Cina ternyata masih menerapkan metode Standarisasi Test atau lebih kita kenal dengan Ujian Akhir Negeri (UAN) disekolah-sekolah kita. Tujuan UAN sebenarnya hanya ingin meningkatkan 'nilai' kecerdasan kepada siswa-siswanya, namun karena UAN jugalah, jumlah siswa yang putus sekolah masih banyak. Tapi Indonesia memiliki Paket A, B dan C sebagai alternatif setelah putus sekolah, sedangkan ketiga negara asia tersebut lebih berkonsentrasi pada Homeschooling bagi yang masih berusia remaja dan Nightschooling bagi dewasa.

Malaysia, Singapura dan Cina ternyata masih menerapkan metode Standarisasi Test atau lebih kita kenal dengan Ujian Akhir Negeri (UAN) disekolah-sekolah kita. Tujuan UAN sebenarnya hanya ingin meningkatkan 'nilai' kecerdasan kepada siswa-siswanya, namun karena UAN jugalah, jumlah siswa yang putus sekolah masih banyak. Tapi Indonesia memiliki Paket A, B dan C sebagai alternatif setelah putus sekolah, sedangkan ketiga negara asia tersebut lebih berkonsentrasi pada Homeschooling bagi yang masih berusia remaja dan Nightschooling bagi dewasa.

Kita mulai dengan Malaysia, dari hasil diskusi saya dengan beberapa pengguna internet dari Malaysia di forum diskusi online milik mereka, ada beberapa informasi yang bisa saya bandingkan dengan sistem pendidikan kita. Contohnya, dalam mata pelajaran Bahasa, di Negara kita hanya Bahasa Indonesia saja yang terus-menerus ditekankan dan diajarkan kepada siswa kita. Memang dibeberapa sekolah swasta, selain Bahasa Indonesia, Bahasa Arab juga ikut dimasukkan dalam kurikulum terutama sekolah-sekolah Islam dan Pesantren. Di sekolah Negeri, Pelajaran Bahasa Asing seperti bahasa inggris hanya menjadi prioritas ketika berada ditingkat Menengah Pertama dan seterusnya, sedangkan tingkat Sekolah Dasar belum. Malaysia menerapkan standar pelajaran Bahasa Inggris mulai dikenalkan kepada siswa dari tingkat Pre-School atau dalam sistem kita disebut Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Walau ada beberapa PAUD yang kini ikut mengajarkan Bahasa Inggris tetapi ketika beranjak ke Sekolah Dasar (SD) mereka tidak diwajibkan mempelajari Bahasa Inggris karena tidak termasuk Kurikulum SD. Setelah naik ketingkat selanjutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kurikulum Bahasa Inggris lalu disertakan. Boleh dibilang, ketika SD siswa akan melupakan 'ilmu' Bahasa Inggris mereka. Sedangkan Malaysia, kecakapan Bahasa Asing mereka justru ditingkatkan jumlahnya ketika tingkatan sekolah mereka juga bertambah. Pada Primary School atau tingkat SD, pelajaran Bahasa Asing ditambah dengan Bahasa Cina dan India. Tahun 2003 lalu, pemerintah Malaysia kembali meningkatkan proses pembelajaran Bahasa Asing mereka dengan membuat kurikulum pelajaran Matematika, Biologi, Fisika dan Kimia dengan proses belajar mengajarnya harus menggunakan Bahasa Inggris.
Kata beberapa teman diskusi forum online dari Malaysia, peraturan tersebut sempat menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap siswa yang fasih berbahasa inggris dengan yang tidak. Hampir sama seperti tingkat SD di sekolah kita, Malaysia juga menerapkan sistem yang mirip dengan sistem 6 kelas kita, sesuai usia mereka dari usia 7 sampai 12 tahun. Pada tahap akhir Primary-School mereka juga menerapkan ujian akhir yang mereka sebut Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) untuk memasuki pendidikan tahapan selanjutnya yaitu Secondary-School atau gabungan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Secondary-School terdiri dari 5 tingkatan dan biasanya tiap tingkatan berlangsung selama satu tahun, setiap tingkatan diwajibkan melakukan Ujian untuk naik ketingkat selanjutnya dan akan tetap tinggal jika tidak lulus Ujian untuk mengulang tingkatannya. Ketika siswa telah berada di tingkatan 3, mereka harus mengambil Ujian yang mereka sebut Penilaian Menengah Rendah (PMR) hampir sama dengan yang kita lakukan pada siswa kelas 3 SMP untuk Ujian Akhir mereka. Hanya saja jika lulus ujian, siswa Malaysia masuk ketingkatan 4 disekolah yang sama. Pada tahap tersebut mereka harus memilih dua jalur pelajaran apakah Sains atau Seni, pelajaran tersebut diambil selama 2 tingkatan dengan waktu 1 tahun ditiap tingkatan. Sedangkan siswa SMA kita, mengambil jalur IPA atau IPS dan belajar selama 3 tingkatan dengan waktu 1 tahun untuk tiap tingkatan. Untuk lulus dari Secondary-School, pada tingkat 5 mereka diwajibkan mengambil Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) sama seperti siswa kita kelas 3 SMA yang harus mengikuti Ujian Akhir Negeri untuk lulus SMA.

Namun SPM ternyata lebih kompleks daripada UAN kita, karena SPM berdasarkan pendidikan peninggalan penjajah Inggris, sehingga ketika peserta diskusi forum online menjelaskan model sistemnya, saya benar-benar tidak mengerti karena terjadi perubahan-perubahan sistem pendidikan untuk SPM yang banyak sekali, dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Pada awal perkembangan sistem pendidikan Malaysia pasca Kemerdekaan mereka, dikatakan bahwa lulusan SPM saat itu adalah orang-orang yang ahli debat, seniman drama, olahragawan bahkan Kepanduan atau Pramuka. Sedangkan lulusan SPM sekarang sama sekali tidak mengerti berdebat, tidak bisa memahami tulisan kaki sebuah jurnal, bahkan tulisan tangan mereka buruk sekali. Semua kesalahan tersebut terletak pada banyaknya standar kelulusan SPM yang harus di ikuti padahal isinya hanya mengejar nilai, bukan membentuk karakter seseorang menjadi lebih ahli. Mungkin sama seperti sistem pendidikan kita, siswa kita hanya dikejar-kejar standar kelulusan yang tinggi tanpa memperhatikan pembentukan atau kaderisasi jiwa, pikiran dan moral mereka.

Ekstrakulikuler diwajibkan kepada siswa Secondary-School saja dan minimal harus mengambil dua cabang ekstrakulikuler yang terdiri dari empat kategori; Kelompok Intra, Seni Pertunjukan, Olahraga dan Klub Sosial. Setiap kompetisi dan pertunjukkan dilaksanakan dengan terjadwal sekali. Setelah lulus di tingkat Secondary-School, siswa Malaysia bisa langsung melanjutkan pendidikan mereka ke sekolah tinggi atau universitas.

Perhatian pemerintah Malaysia terhadap masalah pendidikan memang sangat ketat dan sistematis, tenaga pengajar saja harus dimasukkan dahulu ke universitas khusus bagi Guru. Dan jangan ditanya tentang gaji para guru di Malaysia beserta tunjangan-tunjangannya, sangat jauh lebih besar dibandingkan gaji guru PNS di Indonesia. Ketatnya perhatian pemerintah Malaysia terhadap sistem pendidikan mereka dapat diukur dari tidak hanya dalam pembangunan fisik pendidikan mereka saja, tetapi dari banyaknya perubahan-perubahan sistem yang mereka lakukan, dan perubahan tersebut selalu berdampak positif bagi manajemen sistem pendidikan mereka juga.

http://www.blogcatalog.com

Read more...

PENGALAMAN OBSERVASI DI ELEMENTRY SCHOOL DI COLUMBUS – USA



Observasi ke sekolah sekolah di Amerika adalah merupakan salah satu kegiatan dan pengalaman yang sangat menarik bagi kita yang mengikuti program Sandwich di OHIO STATE UNIVERSITY- USA, karena semua mahasiswa Quality Assurance/ School leadership dari Indonesia berlatar belakang guru, Kepala Sekolah, Pengawas ( pendidikan).

Ada 9 sekolah yang kita kunjungi disini terdiri dari Kinder Garden (TK), Elementry School ( SD), Middle School ( SMP), High School (SMA). Di sekolah kita melalukan observasi tentang semua component yang ada di sekolah, mulai dari SDM, fasilitas, management sekolah, wawancara dengan Kepala sekolah dan wakil, guru mata pelajaran, konseling, pegawai, student dan orang tua siswa/ komite, pengawas dan melihat secara lansung proses pembelajaran semua mata pelajaran ( Math, science, language&art, Social, music, sport,) dan kegiatan ekstra kurikuler.

Pada kesempatan ini saya akan menulis gambaran tentang sekolah dasar (Elementry school) di luar negeri, khususnya USA. Sekolah Dasar disini, terintegrasi satu atap dengan TK, Sekolah Dasar mulai dari Pre school (TK) satu tahun , kemudian masuk grade 1 sampai dengan grade 5, jadi tetap juga 6 tahun .

Melihat proses belajar mengajar di SD memang sangat menarik, karena sangat jauh berbeda dengan Sekolah Dasar di Negara kita Indonesia. Pertama dari Fasilitas, Fasilitas disekolah dasar disini sangat lengkap, setiap kelas dilengkapi dengan Komputer (5 bh) untuk siswa, Labtop untuk guru, Infocus, OHP. TV, pustaka kecil yang lengkap dengan buku buku sumber yang dipakai dalam , Locker, Meja belajar dan kursi yang didesain dengan baik sehingga ruang tidak terlalu padat, didepan papan tulis terbentang karpet kecil, yang digunakan sewaktu guru menyajikan materi/ menanamkan konsep, siswa boleh duduk dikarpet, sehingga betul betul bisa membuat anak enjoy dalam belajar(enjoyful learning). Jumlah siswa memang terbatas 20 atau 22 dalam satu kelas. Dengan sistim moving kelas yaitu siswa yang pindah kelas setiap pertukaran mata pelajaran, guru tetap berada dikelas masing masing, misalnya guru matematik akan berda selalu di kelas tersebut, jadi mereka tidak punya kantor majelis guru, kantor guru berada dikelas masing masing.

Guru disini berfungsi sebagai fasilitator, setiap materi yang akan dipelajari hari besok akan diberi tugas oleh guru hari ini , setiap hari tugas tersebut sudah ditulis dipapan. Anak anak tinggal mencatat apa yang harus dikerjakannya dirumah, tugasnya bisa berupa bacaan, menjawab pertanyaan, mengerjakan latihan, mencari di internet sesuai dengan materi yang akan diajar pada pertemuan berikutnya, sehingga anak harus membaca dan belajar dirumah sebelum pelajaran diajarkan. Disini konsep inquiry atau anak menemukan sendiri ditanamkan pada anak. Pada pertemuan besoknya guru akan mengumpulkan tugasnya duluan. Kemudian didiskusikan bersama dan dibahas lagi .Kegiatan pembelajaran dikelas seperti membuat latihan dan tugas tugas , diberikan dalam bentuk kerja kelompok dan individu. Begitulah pelaksanaan pembelajaran untuk semua mata pelajaran pokok seperti Matematika, Science, Bahasa, IPS disekolah sekolah dasar.

Bagaimana kalau oleh siswa yang tidak mengerjakan tugas/ belajar yang diberikan kemaren? Siswa yang seperti ini akan disuruh keluar dan mengerjakan tugasnya dipustaka . Begitu juga untuk anak yang agak lemah, guru akan memberi tambahan belajar diluar jam pelajaran secara gratis. Jadi disini anak anak memang belajar secara tuntas. Tidak ada istilah private lesson ( Les) mata pelajaran bagi anak sekolah disini, karena guru betul betul bertangung jawab untuk keberhasilan anak didiknya.

Point yang paling menarik dan berkesan lagi adalah, setiap tugas atau hasil karya siswa, selalu di pajangkan di dinding/tembok kelas atau pun diluar kelas siswa, apapun bentuknya, baik atau jelek semuanya harus di pajangkan, untuk memotivasi dan evaluasi diri sendiri (self evaluation).

Kelebihan anak anak SD disini adalah , (1) Rajin Membaca, (2) Bisa menggunakan high technology, (3,) Disiplin tinggi, (4) kreativitas tinggi, (5) Resfect (hormat) dengan siapa saja, (6) Percaya diri, Jujur, sportif

Kelebihan guru : (1) Rajin membaca ( banyak buku referensi) , (2) bisa menggunakan high technology, (3) Kreativitas tinggi, (4) metode yang bervariasi

Sumber : http://www.diknas-padang.org

Read more...

7 KIAT SUKSES SATU TAHUN AJARAN BAGI GURU



Agar sukses di satu tahun ajaran, guru perlu melakukan persiapan. Banyak sekolah yang mewajibkan guru nya masuk 3 hari atau bahkan lebih saat siswa nya masih libur panjang. Semuanya agar saat siswa masuk di hari pertama, semuanya siap dan terencana, baik kelas secara fisik atau administrasi yang sifatnya menjadi `pegangan' selama satu tahun penuh.



Berikut ini saya ingin berbagi mengenai hal apa saja yang mungkin bisa menjadi kiat agar sukses satu tahun ajaran.

1. menyiapkan sebuah folder khusus yang berisi nya adalah semua `paper work' atau pekerjaan yang bersifat keadministrasian dan ditulis dikertas. Isinya antara lain, visi misi sekolah, nama siswa, rencana pembelajaran dari hari ke hari, dokumen kurikulum serta hal lain yang memudahkan anda menjalankan administrasi satu tahun ajaran penuh.

2. menyepakati peraturan dan konsekuensi di kelas, latih terus di dua minggu pertama sampai satu bulan di tahun ajaran baru. Dijamin anda tidak akan bermasalah dengan perilaku siswa di kelas.

3. Menyiapkan `template' yang berisi nama anak dan kolom yang kosong disebelahnya, untuk bisa memudahkan anda menggunakannya saat menilai siswa atau bahkan hanya untuk mengecek kelengkapan sesuatu yang perlu dibawa siswa.

4. Siapkan games atau permainan yang bisa dimainkan saat siswa jenuh atau butuh penyegaran. 10 permainan saja tidak usah banyak-banyak. Permainan tadi bisa anda lakukan satu tahun penuh.

5. Lakukan pemetaan materi pembelajaran satu tahun penuh (atau tema jika anda menggunakan pendekatan `tematik'). Mulai sekarang lepaskan ketergantungan pada buku paket. Jadikan itu hanya menjadi salah satu rujukan saja, artinya jangan kemudian buku paket mendominasi alur pembelajaran dan pengajaran kita di kelas. Karena anda yang mengajar dikelas maka anda yang pegang kendali. Jika anda melakukan pemetaan, menjadi mudah bagi anda untuk menentukan kapan membagi hal yang sifat nya rutin seperti portfolio atau melakukan kegiatan lain yang ada hubungannya dengan pembelajaran seperti tes dan lain sebagainya.

6. Menyiapkan arus atau penataan informasi, bagaimana siswa tahu dan mengerti jika ada pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Bagaimana memberitahu orang tua mengenai sebuah informasi yang penting. Hal yang tidak kalah penting adalah menyiapkan fisik kelas, bagaimana individu yang ada didalamnya berinteraksi, bagaimana kelas di tata serta hal lain yang memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran.

7. Lakukan refleksi minimal seminggu sekali atau sehari sekali. Anda bisa menulis apa saja mengenai pembelajaran yang anda lakukan selama seminggu atau pada hari itu. Ditulis dalam sehelai kertas, walau beberapa kalimat, akan bisa membuat anda menjadi guru yang lebih baik.
Beberapa tips di atas adalah gambaran dari betapa sejatinya guru yang baik, melakukan semuanya secara terencana sambil terus memperbaharui kualitas diri.

Jika anda sudah punya perencanaan satu tahun penuh saya jamin anda makin punya waktu untuk hal yang lain yang merupakan hobi atau bisnis sampingan anda, atau menulis buku barangkali? Seperti yang dilakukan Pak Wijaya Kusumah lewat buku `Penelitian Tindakan Kelas' nya, atau anda punya tips sukses tahun tahun ajaran penuh yang lain dan berharga yang bisa dibagi melalui forum ini? saya persilahkan

Terima kasih
Agus Sampurno
http://gurukreatif. wordpress. com/


Read more...

PEMERATAAN PENDIDIKAN, SEBUAH PROBLEMATIKA PENDIDIKAN NASIONAL



Kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal Depdiknas (Kompas, 21/2/2009).

Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.


Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Dalam praktek, perwujudan pemerataan pendidikan tidak hanya memerlukan undang-undang dan dana. Apa permasalahan pemerataan pendidikan sekarang?

Miskonsepsi

Hambatan utama pemerataan justru pada konsep ”gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, hingga 63 tahun kemerdekaan, negara belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat.

Masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar ”gratis” atau bagaimana mengatasi aneka masalah teknis penyaluran dana bantuan operasional, tetapi konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat.

Sayang, tidak selamanya pemegang amanat rakyat melaksanakan ketentuan pembiayaan pendidikan. Misalnya, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1). Tetapi Mendiknas bersikeras pemerintah hanya menanggung biaya operasional (Kompas, 24/2/2009).

Artinya, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, pewujudannya kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat. Tetapi kita tahu, elite negara sebagai politikus bertindak berdasar naluri kepentingan, bukan keberpihakan substansial.

Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, sebelum negara ini ada.

Pemerintah daerah

Di sisi lain, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah.

UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.

Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.

Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Warga Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana dan Kota Yogyakarta, beruntung karena pemimpin mereka berusaha keras memenuhi tanggung jawab pembiayaan pendidikan.

Namun di berbagai tempat lain, ketentuan dan janji pembiayaan pendidikan justru membuat warga kecewa. Di Papua misalnya, gedung sekolah yang dibangun atas dana pemerintah pusat, selama enam bulan setelah diresmikan masih kosong tanpa kegiatan belajar-mengajar. Menurut pejabat setempat, itu karena pemerintah pusat hanya menyediakan gedung, meja-kursi, dan tidak membayar gaji guru, yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah.

Menyesatkan publik

Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Di Lampung, sejumlah guru terdorong berutang karena kampanye pilkada menjanjikan pelunasan utang jika calon tertentu terpilih.

Kasus-kasus itu menunjukkan variasi pemaknaan dan implementasi otonomi pembiayaan pendidikan karena kesadaran yang berbeda antardaerah.

Karena itu, monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM

(Dimuat Kompas, 2 Maret 2009)



Read more...

Problematika Pendidikan Indonesia


TULISAN Agus Suwignyo di Kompas (8 April 2004) menggarisbawahi urgensi dan relevansi sistem pendidikan Indonesia, terutama dari sudut peserta didik. Suwignyo menyimpulkan bahwa signalling yang ingin disampaikan oleh sektor industri di Indonesia adalah betapa pentingnya karakter personal dan interpersonal lulusan perguruan tinggi dalam proses rekrutmen.



SELANJUTNYA, benang merah yang bisa ditarik dari tulisan itu adalah pentingnya kerja sama antara perusahaan dan lembaga pendidikan, sebagai penyedia input sumber daya manusia (SDM). Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Suwignyo, Marsel Ruben Payong (Kompas, 19 April 2004) menggarisbawahi hubungan signalling perguruan tinggi (PT) dengan dunia industri, terutama dari kesiapan dan relevansi kurikulum PT.

Dalam ilmu ekonomi, kita dengan mudah menemukan apa yang ingin disampaikan oleh Suwignyo dan Payong dalam literatur information economics (ekonomi informasi) dan proses signalling. Sementara itu, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya jauh lebih kompleks daripada sekadar interaksi pasar antara PT dan industri. Dengan kata lain, baik Suwignyo maupun Payong telah mereduksi permasalahan menjadi sebuah kepingan puzzle, tanpa memberikan pemahaman keseluruhan alias the big picture akan persoalan pendidikan Indonesia.

Ini tidak mengherankan karena kecenderungan manusia adalah apabila kita memperhatikan ’pohon’, kita tidak melihat ’hutan’ secara keseluruhan. Sebelum kesalahpahaman semakin berlarut-larut, tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat problematika penyelenggaraan pendidikan Indonesia dalam perspektif yang lebih jernih dan menyeluruh.

Pendidikan dasar

Proses pembentukan SDM- sebagian kalangan menyebutnya human capital-adalah meliputi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi individu, ditinjau dari banyak segi, dari sejak usia dini hingga terjun dalam dunia profesional. Jadi, ini mencakup sekolah, baik formal maupun informal, pelatihan, on-the-job training, dan semua kegiatan lain yang bertujuan meningkatkan pengetahuan.

Akan kaitannya dengan pemberdayaan SDM tersebut, Suwignyo menekankan signifikansi penilaian kemampuan dan kreativitas individu sebelum memasuki dunia profesional, sementara Payong berargumen bahwa PT seyogianya lebih berani membuat terobosan mata kuliah baru yang lebih relevan bagi dunia kerja. Namun, sayangnya, saran kedua penulis bahwa proses ini dapat dilakukan pada tahap pendidikan tingkat lanjut sesungguhnya tidak tepat. Ini sudah pasti sangat terlambat. Pembentukan SDM justru harus dilakukan sejak usia dini ketika siswa masih ’lentur’. Apabila proses peningkatan SDM dipaksakan pada tingkat lanjut, katakanlah PT, akibat yang ditimbulkan justru negatif. Ibarat membentuk tembikar tanah liat yang telah mulai mengering dan mengeras.

Seorang rekan mahasiswa di Inggris pernah melemparkan lelucon bahwa kuliah di PT luar negeri lebih “mudah” dan setelah lulus juga lebih cepat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Adapun kuliah di PT dalam negeri jauh lebih “sulit” karena terlalu banyak mata kuliah yang tidak jelas relevansinya. Celakanya, setelah lulus pun akhirnya jadi pengangguran. Saat mendengar seloroh itu, seketika saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu sewaktu tanpa sengaja mengamati materi ujian seorang keponakan yang masih duduk di sekolah dasar (SD). Saya terkejut bukan kepalang! Betapa tidak? Pertanyaan yang diajukan benar-benar sulit, dan terus terang saya sangsi apakah seorang mahasiswa sanggup menjawabnya.

Dari kedua “kasus” pendidikan PT dan SD di atas, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah pola pendidikan tinggi di Indonesia meneruskan “tradisi” pendidikan SD yang sarat dengan muatan, namun sedikit relevansi. Mengapa ini semua bisa terjadi? Jawabannya terletak pada kesalahpahaman pengelola pendidikan formal yang semata menekankan pentingnya kelulusan dan muatan pengajaran. Tidak jarang akhirnya siswa terpaksa mengikuti pelajaran tambahan, baik yang diselenggarakan oleh sekolah yang bersangkutan maupun lembaga lain, semata-mata untuk mengejar target beban dan kelulusan.

Celakanya, sebagian besar masyarakat tidak punya banyak pilihan selain memercayakan pendidikan siswa semata kepada pendidikan formal. Sedemikian parahnya “beban” yang ditanggung peserta didik sehingga sebuah sekolah taman kanak-kanak di Jakarta menjalankan prosedur tes psikologi bagi calon siswa! (Kompas, 18 April 2004).

Pendidikan dan politik

Banyak kekeliruan yang seharusnya dapat dielakkan dalam pengelolaan pendidikan. Yang perlu diingat adalah bahwa kontrol sosial terhadap pendidikan formal adalah hal mutlak dan harus selalu diutamakan. Pendidikan di Indonesia terlalu berharga untuk semata diserahkan mentah-mentah kepada para ’pendidik’ dan birokrat, apalagi para politisi pembuat undang-undang (UU) pendidikan. Di saat hiruk-pikuk kampanye pemilu, siapa yang peduli dengan pengembangan pendidikan? Partai mana yang berani “menjual” platform pendidikan? Berapa anggaran pendidikan partai politik apabila mereka menang pemilu?

Pendidikan selalu merupakan hal yang terabaikan dalam politik sehingga akhirnya tak heran apabila tak ada satu partai pun yang peduli bahwa kegiatan belajar mengajar di SMPN 56 Jakarta Selatan digusur sehingga siswa terpaksa belajar di luar (Kompas, 19 April 2004).

Seberapa parahnya persoalan pendidikan Indonesia terungkap jelas dalam artikel, UAN Apa yang Kau Cari? (Kompas, 17 April 2004). Tulisan ini jelas- jelas menyatakan bahwa kurikulum dan sasaran pendidikan Indonesia tidak mengalami perubahan berarti sejak lebih dari setengah abad yang lalu.

Pada saat itu kurikulum Indonesia didesain meniru pendidikan Belanda, yang tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan lulusan untuk bekerja di kantor-kantor VOC, menjadi pegawai kompeni yang dianggap berstatus nomor wahid. Kebanyakan akhirnya beralih menjadi pegawai negeri setelah Indonesia merdeka dan kompeni hengkang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ini masih relevan?

Karakter sebagai fitrah

Penyelenggara pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah manusia memang berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan akan talenta dan keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran apabila atlet atau penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar daripada bankir, birokrat, apalagi politisi.

Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim, manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan. Tujuan pendidikan bukanlah menyeragamkan kemampuan murid hingga memahami seluruh muatan pendidikan dan lulus ujian, melainkan mengidentifikasi dan mengembangkan karakter-karakter unggul yang dimiliki peserta didik. Sudah saatnya kita memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia-yang tidak banyak berubah sejak setengah abad yang lalu-untuk lebih menghargai fitrah manusia. Tidak semua orang ingin menjadi pegawai negeri, bukan?

Ada fenomena menarik belakangan ini sehubungan dengan semakin merosotnya nilai dollar dan semakin berlarut-larutnya kasus pelanggaran UU antimonopoli program aplikasi komputer. Bila terbukti Windows menyalahi UU antimonopoli di Eropa, bisa jadi predikat orang terkaya nomor satu akan berpindah dari pimpinan Microsoft, pembuat sistem operasi tersebut, kepada bos IKEA, seorang “tukang kayu”. Di negara kita mungkin tidak begitu terkenal, tetapi cabang IKEA sudah tersebar di mana-mana di seluruh dunia, padahal sumber utama kayunya berasal dari hutan tropis Indonesia.

Nah, sekarang coba kita berandai-andai. Kalau seorang “tukang-kayu” saja bisa jadi kandidat orang nomor satu terkaya, padahal bahan utamanya-physical capital-berasal dari negara kita. Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi yang dimiliki Indonesia apabila human capital-nya diolah dengan benar.

Kusuma Andrianto Mahasiswa PhD, Peneliti Human Capital Leeds University Business School, UK

Dimuat di Kompas, Jumat 30 April 2004



Read more...

MENYEKOLAHKAN ANAK HANYA IMPIAN

>> Thursday 13 August 2009




Prawiro (54), buruh tani menginjak-injak padi agar terlepas dari batangnya di Bantul, DIY. Selama musim panen ia menjadi buruh tani dengan upah Rp 20.000 per hari.

Hidup serba kekurangan sudah menyatu dalam kehidupan se- orang buruh tani. Makan dengan lauk seadanya, bahkan hanya makan tiwul (singkong yang dikeringkan), adalah hal biasa. Bisa menyekolahkan anak hingga SMA hanyalah impian, karena tak ada dana untuk membiayai anak bersekolah. Bisa sekolah hingga SLTP saja sudah merupakan keajaiban.


Munali (48 tahun), seorang buruh tani asal Desa Pepe, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, bisa menggambarkan bagaimana nelangsanya kehidupan seorang buruh tani di negeri ini. Hidupnya serbakekurangan. Makan hanya dengan lauk seadanya, dua anaknya putus sekolah karena tidak ada biaya untuk menyekolahkannya.

“Penghasilan sebagai buruh tani hanya untuk bisa makan. Selebihnya kami hidup serbakekurangan,” kata Munali, kepada SP, di tengah sawah dengan tanaman padi menghijau milik majikannya, Sumali, Senin (10/8).

Kedua anaknya, Rokhmad dan Ainur Rokhim, sekarang harus bekerja sebagai buruh pengangkat kain di kawasan Kapasan, Surabaya. Keduanya tidak bisa melanjutkan sekolah dan hanya mengantongi ijazah SMP, karena ketiadaan biaya. Munali tak mampu membiayainya.

“Kedua anak saya sudah mampu membiayai diri mereka sendiri dengan bekerja sebagai buruh pengangkat kain. Sebagai buruh tani, saya rata-rata hanya berpenghasilan Rp 10.000 sehari. Uang itu hanya cukup untuk makan, dan pasti tidak cukup untuk membiayai anak-anak saya sekolah,” ujar Munali, yang terlihat kepanasan bekerja di sawah siang itu.

Saat kedua anaknya masih sekolah, uang yang diterima Rp 300.000 per bulan itu, harus diambil sebagian untuk membiayai mereka.

“Dulu untuk keperluan mereka juga diambil dari penghasilan sebagai buruh tani yang sedikit itu, untuk membeli buku dan sedikit uang jajan mereka.

Untuk membiayai mereka melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi sangat tidak mungkin dengan penghasilan yang hanya sebesar itu,” ujarnya lagi.

Pekerjaan sebagai buruh tani sudah digeluti Munali sejak dia sudah bisa bekerja.

Tanpa memiliki keterampilan lainnya, kecuali bekerja sebagai buruh tani membuat kehidupan Munali tidak mengalami perubahan meskipun presiden di negeri ini sudah beberapa kali berganti dan sekarang Indonesia akan merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-64, tanggal 17 Agustus 2009 mendatang.

Di tengah kehidupan yang memprihatinkan tersebut, Munali masih mempunyai harapan terhadap Presiden SBY, yang terpilih untuk memimpin negeri ini hingga 2014 mendatang. “Saya berharap presiden terpilih bisa membantu para buruh tani dengan mengucurkan kredit murah dalam bentuk lahan pertanian. Dengan demikian kami tidak hanya bekerja sebagai buruh tani, tapi bisa memiliki lahan yang dikerjakan sendiri,” tambahnya.

Buruh tani, kata Munali, dibelikan lahan pertanian melalui bank milik pemerintah atau pemerintah daerah. Sertifikat kepemilikan dibuat jaminan, sementara buruh tani berkewajiban mengangsur dalam jangka panjang, yang tidak memberatkan. Melalui cara ini diharapkan buruh tani dapat mengelola lahan pertanian miliknya, tanpa harus bergantung kepada majikannya.

Begitu pula dengan Ny Prawiro (54 tahun) yang bekerja sebagai buruh tani sejak berusia muda. Dia hanya bekerja ketika ada garapan di sawah. Upah yang diterima untuk mengolah sawah adalah 25 kilogram beras setiap musim panen. Jika bekerja secara harian, dibayar hanya Rp 20.000 per hari.

“Upahnya paling-paling habis untuk makan harian sekeluarga,” kata Ny Prawiro , perempuan asal Bantul, Jawa Timur.

Namun perempuan dengan empat anak ini mengaku mampu menyekolahkan salah seorang anaknya hingga lulus STM. “Yang lulus STM kemarin sudah bekerja di bengkel motor. Toh jadi buruh juga kan,” ujarnya menegaskan nasibnya secara turun-temurun.

“Dulu simbah (kakek-Red) memang punya sawah, tapi sudah habis dibagi-bagi buat anak yang laki-laki, kebetulan saya keturunan dari ibu atau anak perempuan, jadinya tidak kebagian. Jadilah kami mburuh,” katanya.

Kalau pekerjaan di sawah sedang lowong, Ny Prawiro, banting stir menjadi tukang cuci atau tukang seterika di usaha-usaha laundry. Kalau pas musim tanam, juragan langganannya selalu mempercayainya. “Pas musim tanam, saya biasanya bekerja nonstop selama dua minggu. Ya, bayarannya Rp 20 ribu sehari. Tapi kalau pas musim panen, setiap lahan 2 kali 14 meter, saya dapat 25 kilogram beras, tergantung dari berapa kemampuan saya,” katanya lagi.

Keterampilannya itu diturunkan juga kepada anaknya yang perempuan. Sejak masih di usia SMP, anak-anaknya sudah pandai menanam padi hingga memanen. Jadi kelak, tongkat estafet sebagai buruh tani akan turun ke anak perempuannya. Artinya, tidak akan ada perbaikan nasib bagi anak keturunannya.

Entah sampai kapan generasi buruh ini terus menurun kepada anak cucunya. Tanpa bantuan pemerintah untuk menyekolahkan anak-anak mereka, kehidupan buruh tani ini tidak akan bisa ditingkatkan. Turun temurun mereka tetap menjadi buruh tani yang miskin. Potret kehidupan Munali dan Ny Prawiro telah berbicara tentang hal ini.

Data BPS pada 2002 menyebutkan, buruh tani pada 1995 jumlahnya sekitar 5,064 juta keluarga, dan meningkat menjadi 7,10 juta keluarga pada 1999. Pada 2003 tercatat ada 11,7 juta keluarga. Kesulitan ekonomi yang mengakibatkan lapangan kerja sangat terbatas serta tidak adanya perbaikan nasib, akan membuat jumlah buruh tani terus meningkat. [152/080]

Sumber: Suara Pembaruan, 12 Agustus 2009, SP/Fuska Sani Efani

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9721


Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP