Problematika Pendidikan Indonesia

>> Friday, 14 August 2009


TULISAN Agus Suwignyo di Kompas (8 April 2004) menggarisbawahi urgensi dan relevansi sistem pendidikan Indonesia, terutama dari sudut peserta didik. Suwignyo menyimpulkan bahwa signalling yang ingin disampaikan oleh sektor industri di Indonesia adalah betapa pentingnya karakter personal dan interpersonal lulusan perguruan tinggi dalam proses rekrutmen.



SELANJUTNYA, benang merah yang bisa ditarik dari tulisan itu adalah pentingnya kerja sama antara perusahaan dan lembaga pendidikan, sebagai penyedia input sumber daya manusia (SDM). Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Suwignyo, Marsel Ruben Payong (Kompas, 19 April 2004) menggarisbawahi hubungan signalling perguruan tinggi (PT) dengan dunia industri, terutama dari kesiapan dan relevansi kurikulum PT.

Dalam ilmu ekonomi, kita dengan mudah menemukan apa yang ingin disampaikan oleh Suwignyo dan Payong dalam literatur information economics (ekonomi informasi) dan proses signalling. Sementara itu, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya jauh lebih kompleks daripada sekadar interaksi pasar antara PT dan industri. Dengan kata lain, baik Suwignyo maupun Payong telah mereduksi permasalahan menjadi sebuah kepingan puzzle, tanpa memberikan pemahaman keseluruhan alias the big picture akan persoalan pendidikan Indonesia.

Ini tidak mengherankan karena kecenderungan manusia adalah apabila kita memperhatikan ’pohon’, kita tidak melihat ’hutan’ secara keseluruhan. Sebelum kesalahpahaman semakin berlarut-larut, tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat problematika penyelenggaraan pendidikan Indonesia dalam perspektif yang lebih jernih dan menyeluruh.

Pendidikan dasar

Proses pembentukan SDM- sebagian kalangan menyebutnya human capital-adalah meliputi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi individu, ditinjau dari banyak segi, dari sejak usia dini hingga terjun dalam dunia profesional. Jadi, ini mencakup sekolah, baik formal maupun informal, pelatihan, on-the-job training, dan semua kegiatan lain yang bertujuan meningkatkan pengetahuan.

Akan kaitannya dengan pemberdayaan SDM tersebut, Suwignyo menekankan signifikansi penilaian kemampuan dan kreativitas individu sebelum memasuki dunia profesional, sementara Payong berargumen bahwa PT seyogianya lebih berani membuat terobosan mata kuliah baru yang lebih relevan bagi dunia kerja. Namun, sayangnya, saran kedua penulis bahwa proses ini dapat dilakukan pada tahap pendidikan tingkat lanjut sesungguhnya tidak tepat. Ini sudah pasti sangat terlambat. Pembentukan SDM justru harus dilakukan sejak usia dini ketika siswa masih ’lentur’. Apabila proses peningkatan SDM dipaksakan pada tingkat lanjut, katakanlah PT, akibat yang ditimbulkan justru negatif. Ibarat membentuk tembikar tanah liat yang telah mulai mengering dan mengeras.

Seorang rekan mahasiswa di Inggris pernah melemparkan lelucon bahwa kuliah di PT luar negeri lebih “mudah” dan setelah lulus juga lebih cepat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Adapun kuliah di PT dalam negeri jauh lebih “sulit” karena terlalu banyak mata kuliah yang tidak jelas relevansinya. Celakanya, setelah lulus pun akhirnya jadi pengangguran. Saat mendengar seloroh itu, seketika saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu sewaktu tanpa sengaja mengamati materi ujian seorang keponakan yang masih duduk di sekolah dasar (SD). Saya terkejut bukan kepalang! Betapa tidak? Pertanyaan yang diajukan benar-benar sulit, dan terus terang saya sangsi apakah seorang mahasiswa sanggup menjawabnya.

Dari kedua “kasus” pendidikan PT dan SD di atas, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah pola pendidikan tinggi di Indonesia meneruskan “tradisi” pendidikan SD yang sarat dengan muatan, namun sedikit relevansi. Mengapa ini semua bisa terjadi? Jawabannya terletak pada kesalahpahaman pengelola pendidikan formal yang semata menekankan pentingnya kelulusan dan muatan pengajaran. Tidak jarang akhirnya siswa terpaksa mengikuti pelajaran tambahan, baik yang diselenggarakan oleh sekolah yang bersangkutan maupun lembaga lain, semata-mata untuk mengejar target beban dan kelulusan.

Celakanya, sebagian besar masyarakat tidak punya banyak pilihan selain memercayakan pendidikan siswa semata kepada pendidikan formal. Sedemikian parahnya “beban” yang ditanggung peserta didik sehingga sebuah sekolah taman kanak-kanak di Jakarta menjalankan prosedur tes psikologi bagi calon siswa! (Kompas, 18 April 2004).

Pendidikan dan politik

Banyak kekeliruan yang seharusnya dapat dielakkan dalam pengelolaan pendidikan. Yang perlu diingat adalah bahwa kontrol sosial terhadap pendidikan formal adalah hal mutlak dan harus selalu diutamakan. Pendidikan di Indonesia terlalu berharga untuk semata diserahkan mentah-mentah kepada para ’pendidik’ dan birokrat, apalagi para politisi pembuat undang-undang (UU) pendidikan. Di saat hiruk-pikuk kampanye pemilu, siapa yang peduli dengan pengembangan pendidikan? Partai mana yang berani “menjual” platform pendidikan? Berapa anggaran pendidikan partai politik apabila mereka menang pemilu?

Pendidikan selalu merupakan hal yang terabaikan dalam politik sehingga akhirnya tak heran apabila tak ada satu partai pun yang peduli bahwa kegiatan belajar mengajar di SMPN 56 Jakarta Selatan digusur sehingga siswa terpaksa belajar di luar (Kompas, 19 April 2004).

Seberapa parahnya persoalan pendidikan Indonesia terungkap jelas dalam artikel, UAN Apa yang Kau Cari? (Kompas, 17 April 2004). Tulisan ini jelas- jelas menyatakan bahwa kurikulum dan sasaran pendidikan Indonesia tidak mengalami perubahan berarti sejak lebih dari setengah abad yang lalu.

Pada saat itu kurikulum Indonesia didesain meniru pendidikan Belanda, yang tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan lulusan untuk bekerja di kantor-kantor VOC, menjadi pegawai kompeni yang dianggap berstatus nomor wahid. Kebanyakan akhirnya beralih menjadi pegawai negeri setelah Indonesia merdeka dan kompeni hengkang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ini masih relevan?

Karakter sebagai fitrah

Penyelenggara pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah manusia memang berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan akan talenta dan keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran apabila atlet atau penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar daripada bankir, birokrat, apalagi politisi.

Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim, manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan. Tujuan pendidikan bukanlah menyeragamkan kemampuan murid hingga memahami seluruh muatan pendidikan dan lulus ujian, melainkan mengidentifikasi dan mengembangkan karakter-karakter unggul yang dimiliki peserta didik. Sudah saatnya kita memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia-yang tidak banyak berubah sejak setengah abad yang lalu-untuk lebih menghargai fitrah manusia. Tidak semua orang ingin menjadi pegawai negeri, bukan?

Ada fenomena menarik belakangan ini sehubungan dengan semakin merosotnya nilai dollar dan semakin berlarut-larutnya kasus pelanggaran UU antimonopoli program aplikasi komputer. Bila terbukti Windows menyalahi UU antimonopoli di Eropa, bisa jadi predikat orang terkaya nomor satu akan berpindah dari pimpinan Microsoft, pembuat sistem operasi tersebut, kepada bos IKEA, seorang “tukang kayu”. Di negara kita mungkin tidak begitu terkenal, tetapi cabang IKEA sudah tersebar di mana-mana di seluruh dunia, padahal sumber utama kayunya berasal dari hutan tropis Indonesia.

Nah, sekarang coba kita berandai-andai. Kalau seorang “tukang-kayu” saja bisa jadi kandidat orang nomor satu terkaya, padahal bahan utamanya-physical capital-berasal dari negara kita. Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi yang dimiliki Indonesia apabila human capital-nya diolah dengan benar.

Kusuma Andrianto Mahasiswa PhD, Peneliti Human Capital Leeds University Business School, UK

Dimuat di Kompas, Jumat 30 April 2004



0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP