GURU MASA DEPAN
>> Wednesday, 9 September 2009
GURU MASA DEPAN Bangsa kita, masyarakat kita, sangat membutuhkan para guru-guru yang mampu mengangkat citra dan marwah pendidikan kita yang terkesan sudah carum marut, dan seperti benang kusut. Sehingga bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, dan dari mana harus dimulai.
Kalaulah kita masing-masing menyadari, dan kalaulah kita masih memiliki rasa keperdulian, dan kalaulah kita mau berbagi rasa, dan kalaulah mau kita berteposeliro, maka pendidikan kita seperti disebutkan di atas, akan dapat dianulir. Oleh sebab itu semua kita memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana kita berusaha mengangkat "batang terendam" tersebut, menjadi pendidikan bermutu, dan tentunya diharapkan mampu untuk mengangkat peringkat dan citra pendidikan termasuk terendah di Asia.
Satu hal yang akan menjadi titik perhatian kita adalah "bagaimana merancang guru masa depan". Guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya.
Bagaimana sebenarnya guru masa depan seperti yang diidamkan oleh banyak pihak, diantaranya adalah:
1.
Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;
2.
Inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, system dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. Secara individu maupun bersama-sama mampu untuk merubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan merubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal;
3.
Motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya;
4.
Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehinga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif;
5.
Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEKS, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan computer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.
Jadi, guru masa depan adalah guru bertindak sebagai fasilitator; pelindung; pembimbing dan punya figur yang baik (disiplin, loyal, bertanggung jawab, kreatif, melayani sesuai dengan visi, misi yang diinginkan sekolah); termotivasi menyediakan pengalaman belajar bermakna untuk mengalami perubahan belajar berdasarkan keterampilan yang dimiliki siswa dengan berfokus menjadikan kelas yang konduktif secara intelektual fisik dan sosial untuk belajar; menguasai materi, kelas, dan teknologi; punya sikap berciri khas "The Habits for Highly Effective People" dan "Quantum Teaching" serta pendekatan humanis terhadap siswa; Guru menguasai komputer, bahasa, dan psikologi mengajar untuk diterapkan di kelas secara proporsional. Diberlakukan skema rewards dan penegakan disiplin yang humanis terhadap guru dan karyawan.
Guru masa depan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, kompetitif dalam menghadapi tantangan, tuntutan kehidupan sehari-hari. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin, bertanggung jawab, memiliki etika moral, dan memiliki sikap kepedulian yang tinggi, dan memupuk kemampuan otodidak anak didik, memberikan reward ataupun apresiasi terhadap siswa agar mereka bangga akan sekolahnya dan terdidik juga untuk mau menghargai orang lain baik pendapat maupun prestasinya. Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak. Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang.
Selain itu, guru masa depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya sebagai guru masa depan bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi kode etik profesinya.
Oleh sebab itu, untuk menjadi guru masa depan diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan utama dan pertama. Weternik memberikan dengan istilah rouping atau "pangilan hati nurani" Rouping inilah yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai "GURU MASA DEPAN". Semoga.
oLEH iSJONI, dekan di FKIP UNIV Riau
Read more...
KENTANG
Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya
untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta
setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak,
diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau
mereka maafkan
Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan
mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung
yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban.
Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan
malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung
itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, di letakkan di meja saat belajar,
dan ditenteng saat berjalan.
Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak
dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir
semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu
selesai.
Dan semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya
daripada menyimpannya terus menerus.
pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual
yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung
yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban
itu,sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah
pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja
kita melangkah.
Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang
harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan
dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan
meruapkan aroma yang tak sedap,bisa jadi, itulah nilai yang akan kita
dapatkan saat memendam amarah dan kebencian.
Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang
kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa,
pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk
sebuah kebebasan.
Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan
kedengkian hati.
SUMBER http://priendah.wordpress.com
Read more...
ANAK KECIL PENJAJAH KUE
Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan
iapun menyantap makanan yang telah dipesan.
Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki
menjajakan kue kepada pemuda tersebut, “Pak mau beli kue, Pak?”
Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab “Tidak,
saya sedang makan”.
Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama.
Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut
menjawab “Tidak dik saya sudah kenyang”.
Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung
kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang
sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda.
Mungkin anak kecil ini berpikir “Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada
bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah”.
Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk
menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.
Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil
penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan.
“Pak mau beli kue saya?”, pemuda yang ditawarkan jadi risih juga
untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan
uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.
“Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya
ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik”.
Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada
pengemis yang sedang meminta-minta.
Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah
dikasihkan kepada orang lain.
“Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?”.
Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, “Saya sudah berjanji
sama ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi
pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu
kalau kue buatan ibu terjual habis.
Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya.
Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis”.
Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak
kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang
anak yang sudah punya etos kerja bahwa
“kerja itu adalah sebuah kehormatan”, kalau dia tidak sukses
bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan
ibunya mempunyai nilai yang kurang.
Suatu pantangan bagi ibunya, bila anaknya menjadi pengemis,
ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum
menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus
ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.
Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki
kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena
prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu “kerja adalah sebuah
kehormatan”, ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan
baik.
CATATAN :
Semoga cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya
kerja. Bukan sekadar untuk uang semata. Jangan sampai mata kita
menjadi “hijau” karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti
pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki. Sekecil apapun profesi
itu, kalau kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berarti
besar.
penulis : Ruddy Suryadarma
Read more...
Dunia Pendidikan antara Merdeka atau Mati
>> Tuesday, 18 August 2009
AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?
AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?
Kemerdekaan merupakan hak setiap bangsa untuk dapat diperjuangkan di muka bumi ini. Begitu pula halnya kemerdekaan di dunia pendidikan kita, masih harus terus diperjuangkan. Saya benar-benar terharu, yang namanya wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (Wajar Dikdasmen) masih dicemari oleh berbagai pungutan yang sangat membebani para orang tua yang lagi kesusahan. Abang becak, pegawai pabrik yang kena PHK; PNS jujur semuanya menjerit ketika mendaftarkan anak tercintanya ke SD, SMP atau SMA Negeri diharuskan menyerahkan uang masuk yang sudah dipatok oleh pihak sekolah dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Begitu pula halnya UU guru dan dosen yang sudah capai-capai dilahirkan oleh para anggota DPR yang terhormat kenyataannya tak ada bedanya dengan UU pokok agraria. Memang, apa hendak dikata kita ini sudah terkenal pandai membuat konsep tapi belum pandai menerapkannya.
Kemerdekaan di dunia pendidikan kita tampaknya masih berupa angan-angan. Sekali lagi saya sangat terharu. Ketika pada bulan Juli lalu, banyak orang tua menjerit karena anak tercintanya masuk SMP, SMA bahkan perguruan tinggi (PT) mesti pakai duit dengan jumlah semakin melangit. Jadinya orang berada menderita, orang tak punya sengsara. Ini lah salah satu tanda dunia pendidikan kita belum merdeka. Kemerdekaan ternyata belum juga dirasakan oleh kebanyakan guru dan dosen. Guru sebenarnya lebih mending, PP nya lagi dibikin; tetapi bagaimana dengan PP dosen ?. Tampaknya dosen mah jalan sendiri saja lah. Oleh karenanya tak usah lah tanya-tanya. Mengapa kita kalah maju sama Malaysia ?. Mengapa Vietnam masuk delapan besar, sedangkan PSSI tidak ?. Kita tahu sendiri lah jawabnya. Dunia pendidikan kita belum merdeka.
Ironis memang. Di satu pihak orang kecil begitu bersemangatnya ingin menyekolahkan anak tercintanya guna merubah nasib keluarga, namun di pihak lain biaya sekolah yang membumbung tinggi menghadangnya bagai barrier yang mesti dilewati. Akhirnya di musim PSB/PMB, pegadaian bahkan rentenir kebanjiran konsumen.
Yang tidak bisa menggadaikan barang dan tidak mau pergi ke rentenir, terpaksa dengan deraian air mata melepas anaknya ke perempatan jalan. Jadi pengamen dan atau pedagang asongan. Memang, kemiskinan amat dekat dengan kebodohan.
Dunia pendidikan kita ternyata baru bisa menciptakan kesenjangan. Senjang kaya – miskin, karena memang dunia pendidikan kita tren nya seperti untuk orang kaya saja. Saya kira cukup sulit bagi orang miskin untuk bisa memasukkan anaknya ke SMP Negeri, bila diharuskan bayar ratusan ribu rupiah.
Dunia pendidikan kita belum merdeka sangat dirasakan oleh para tukang becak, ketika diharuskan membayar biaya sekolah anaknya yang disamakan dengan anak para pengusaha. Penyamarataan bayaran biaya sekolah rasanya kurang adil, sama halnya dengan pembedaan layanan guru terhadap anak orang kaya dan anak orang miskin. Dalam hal ini lah pemerintah mesti turun tangan, jangan hanya pada saat kampanye saja.
Terus terang kita prihatin melihat perpustakaan yang tak menarik untuk dikunjungi, melihat ruang kelas bagaikan kandang ayam; melihat pungutan pada siswa baru dengan dalih yang terasa di buat-buat.
Apa lagi dunia pendidikan tinggi kita sekarang ini cenderung didominasi oleh orang yang berduit saja. Hitungannya sudah bukan jutaan lagi tapi puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Bayangkan saja untuk bisa kuliah melalui jalur apa lah namanya di Fakultas Kedokteran Unsoed, orang tua harus mampu menyediakan uang 100 jutaan rupiah. Sekarang ini yang boleh dikatakan paling murah hanya ke Fakultas Pertanian, karena memang mencangkul sih pekerjaan yang sedang terpinggirkan.
Ironis sebenarnya orang-orang kampus sendiri yang hidupnya hanya untuk ilmu, kesejahteraannya boleh dibilang kurang menggembirakan bila dibandingkan dengan orang kampus yang kerjanya seperti burung alap-alap.
Kemerdekaan pendidikan di negeri ini boleh dikatakan semakin luntur. Anggaran BOS menggelontor, tapi orang tua murid selalu dihantui oleh keharusan beli buku. Buku gratis pemberian pemerintah, tampaknya sudah tinggal kenangan. Dulu waktu zaman normal kita itu masih bisa baca buku milik negara. Sekarang mah baca buku pinjam dari kakak kelas pun sering terganggu oleh yang namanya pembaruan kurikulum.
Saya kagum pada Bupati Kabupaten Muba Provinsi Sumsel yang telah mampu melaksanakan Wajar 15 tahun secara gratis alias tanpa pungutan (Republika, 6/7-2007). Saya hormat walaupun belum puas pada Bupati Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat yang telah mampu menolak permintaan izin penjual buku pelajaran (”PR”
, 3/7-2007). Saya gembira walaupun belum nyata pada Wali Kota Bandung yang mau menaikkan gaji guru (”PR”, 25/7-2007). Namun saya masih prihatin melihat gonta-ganti kurikulum lalu gonta-ganti buku pelajaran. Saya prihatin melihat bandelnya UN lalu bimbingan test semakin marak. Dikemanakan wibawa orang tua yang tidak mampu menyayangi anaknya lewat bimbel ?. Apa khabar para pengajar di sekolah, yang kemerdekaannya terus diganggu ??. Guru yang dibanggakan tergerus oleh bimbel yang sudah jadi kebanggaan.
Seiring dengan turunnya dana BOS sudah saatnya manajemen pendidikan ditegakkan. Sekolah yang masih kekurangan dana jangan minta ke murid, minta lah ke pengusaha yang berkelas konglomerat yang suka menabung di Singapura. Hindarkan beban anak-anak kita dari soal pungutan uang, agar mereka dapat fokus pada prestasi. Saya bangga melihat pelajar kita yang mampu menyabet emas di Olimpiade Fisika. Sebaliknya saya prihatin ketika melihat pelajar kita pakai anting mungkin sedang over acting saking pusing ngemutan uang pungutan. Namun saya tetap kagum, ketika melihat isi tas pelajar kita yang berat-berat itu ternyata masih dijejali oleh buku-buku agama pegangan kita.
Begitu pula seiring dengan terealisasinya 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN, sudah saatnya UU guru dan dosen diimplementasikan. Nasibnya jangan seperti UU pokok agraria sebatas jadi pajangan saja. Mohon maaf, PP untuk Dosen sepertinya tak teragenda dalam bahasan di DPR.
Belum merdekanya dunia pendidikan kita ini, tampaknya memerlukan campur tangan Pak SBY. Pak SBY, seorang presiden yang begitu telaten dalam memberikan penghargaan. Hanya saja sayang, penghargaan kepada dosen belum saya lihat beliau berikan. Kata salah seorang anggota DPR mah, dosen itu kulturnya lain. Saya tak tahu, apa yang dimaksud kultur lain itu. Apakah dosen itu sama dengan malaikat yang tidak punya nafsu keduniaan ?. Wallahualam. Yang jelas dosen itu sekali saja berbuat khilaf, langsung masuk penjara.
Ya Allah, kata Pak Rokhmin Dahuri. Di mana, keadilan di negeri ini ?. Saya yang handeueul teu kacepretan akhirnya hanya bisa berucap, Ya Allah, semoga kebenaran di negeri ini ditampakkan. Yang benar itu benar, yang salah itu salah. Dirgahayu HUT RI. Merdeka! (diambil dari Harian Pikiran Rakyat : Dr. Dedy Sufyadi)
MAKNA KEMERDEKAAN DALAM PENDIDIKAN
>> Sunday, 16 August 2009
Baru saja kita memperingati 63 tahun kemerdekaan Indonesia. Momentum itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya guna merefleksikan apa saja yang sudah dilakukan untuk bangsa, sembari memikirkan solusi untuk keluar dari jeratan krisis.Tidak kalah pentingnya, perlu dilakukan penyegaran sekaligus pembaruan model peringatan kemerdekaan, dari sekadar seremonial tanpa makna menjadi spirit yang membangun semangat nasionalisme dan kebangsaan.
Pembaruan dan penyegaran itu, salah satunya bisa dilakukan dengan membenahi sistem pendidikan bangsa. Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan saat ini, telah melenceng jauh dari cita-cita para pendirinya (founding father), khususnya pada masa-masa prakemerdekaan.
Sejarah membuktikan bahwa pendidikan memberi kontribusi yang besar dalam membidani kelahiran kemerdekaan. Melalui pendidikan, tokoh seperti R.A. Kartini, R. Dewi Sartika, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan Teuku Moh. Syafei, menanamkan jiwa dan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Pendek kata, para tokoh itu membangun visi dan misi pendidikan dalam bingkai kebangunan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan.
Ki Hajar Dewantara, misalnya, mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dengan tujuan ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Ki Hajar meyakini, penyadaran melalui lembaga pendidikan adalah usaha yang manjur. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh.
Contoh lain, dengan didirikannya organisasi Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1926), dan dicetuskannya Sumpah Pemuda (1928). Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi untuk mempertahankannya, generasi muda yang terpelajar itu tidak sekadar mampu merancang organisasi atau menjadi aktivis, tetapi mereka juga memiliki keberanian dan strategi untuk membangun kekuatan bersenjata yang dikenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP).
Pendidikan dikebiri
Sayangnya, model pendidikan yang menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka itu, dicerabut dan dikebiri dari sistem pendidikan saat ini. Alih-alih, bukannya menjadi sarana memerdekakan peserta didik, tetapi justru membelenggu, memenjarakan, dan menindas. Itu dapat kita lihat dengan adanya kebijakan sertifikasi guru, kebijakan membalik rasio SMK dan SMA, penyamaan ujian akhir nasional (UAN) SMK dengan SMA, dan sebagainya.
Belum lagi, biaya pendidikan yang terasa kian mahal dan hampir tak terjangkau rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari masyarakat yang seharusnya dilayani. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan murah, baik, dan berkualitas tidak akan pernah terwujud.
Pada aspek filosofi, pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan. Bahkan, pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan pelajar. Wajar jika spirit kemerdekaan, kebebasan, dan pencerahan sulit ditemukan dalam sistem dan praktik pendidikan tersebut. Tidak ada ruang dan waktu yang memadai bagi terjadinya liberasi yang mendorong sikap mental para pelajar untuk menjadi manusia merdeka.
Hasil lulusan atau output pendidikan yang jauh dari spirit kemerdekaan dan kebangsaan, kata Amien Rais (2008), hanya menghasilkan pemimpin, pengusaha, parlemen (anggota DPR), jaksa dan sebagainya, yang bermental inlander, penjilat, dan rela dijadikan budak korporasi-korporasi besar milik Amerika dan sekutu-sekutunya. Sebagai contoh, ketika kekayaan alam berupa minyak, gas, batu bara dan emas, dijarah beberapa perusahaan Amerika, para pemimpin berjiwa inlander itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Spirit kemerdekaan
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, selain mengambil semangat dan spirit kemerdekaan, untuk merancang pendidikan bangsa berjiwa merdeka. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan ini bisa diwujudkan paling tidak dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan egalitarianisme, dalam menyusun visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran, kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru.
Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi antara siswa dan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog, dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang transparan, dan sebagainya.
Pendidikan juga perlu menanamkan sikap kritis pada anak didiknya. Melalui model pendidikan seperti itu, terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya.
Spirit kemerdekaan dan pendidikan kritis, kata Asep P.B. (2006), akan menumbuhkan kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Mereka akan mampu melakukan transformasi diri menjadi orang-orang yang terbebaskan, lantaran institusi pendidikan dan lingkungan memberikan ruang dan iklim yang kondusif.
Selain itu, eksistensi pendidikan yang memiliki spirit kemerdekaan akan diperhitungkan dalam konteks demokrasi. Artinya, pendidikan dipercaya punya pengaruh yang positif bagi demokratisasi, sekaligus menghasilkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dalam perspektif ini, pendidikan bisa dilihat sebagai sebuah institusi untuk menginternalisasikan dan menyosialisasikan kemerdekaan, prinsip kemandirian, dan nilai hak asasi manusia harus bisa dijalankan. Semoga.[]
Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi 18 Agustus 2008
MENGINTIP SISTIM PENDIDIKAN MALASYIA
>> Friday, 14 August 2009
Malaysia, Singapura dan Cina ternyata masih menerapkan metode Standarisasi Test atau lebih kita kenal dengan Ujian Akhir Negeri (UAN) disekolah-sekolah kita. Tujuan UAN sebenarnya hanya ingin meningkatkan 'nilai' kecerdasan kepada siswa-siswanya, namun karena UAN jugalah, jumlah siswa yang putus sekolah masih banyak. Tapi Indonesia memiliki Paket A, B dan C sebagai alternatif setelah putus sekolah, sedangkan ketiga negara asia tersebut lebih berkonsentrasi pada Homeschooling bagi yang masih berusia remaja dan Nightschooling bagi dewasa.
Malaysia, Singapura dan Cina ternyata masih menerapkan metode Standarisasi Test atau lebih kita kenal dengan Ujian Akhir Negeri (UAN) disekolah-sekolah kita. Tujuan UAN sebenarnya hanya ingin meningkatkan 'nilai' kecerdasan kepada siswa-siswanya, namun karena UAN jugalah, jumlah siswa yang putus sekolah masih banyak. Tapi Indonesia memiliki Paket A, B dan C sebagai alternatif setelah putus sekolah, sedangkan ketiga negara asia tersebut lebih berkonsentrasi pada Homeschooling bagi yang masih berusia remaja dan Nightschooling bagi dewasa.
Kita mulai dengan Malaysia, dari hasil diskusi saya dengan beberapa pengguna internet dari Malaysia di forum diskusi online milik mereka, ada beberapa informasi yang bisa saya bandingkan dengan sistem pendidikan kita. Contohnya, dalam mata pelajaran Bahasa, di Negara kita hanya Bahasa Indonesia saja yang terus-menerus ditekankan dan diajarkan kepada siswa kita. Memang dibeberapa sekolah swasta, selain Bahasa Indonesia, Bahasa Arab juga ikut dimasukkan dalam kurikulum terutama sekolah-sekolah Islam dan Pesantren. Di sekolah Negeri, Pelajaran Bahasa Asing seperti bahasa inggris hanya menjadi prioritas ketika berada ditingkat Menengah Pertama dan seterusnya, sedangkan tingkat Sekolah Dasar belum. Malaysia menerapkan standar pelajaran Bahasa Inggris mulai dikenalkan kepada siswa dari tingkat Pre-School atau dalam sistem kita disebut Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Walau ada beberapa PAUD yang kini ikut mengajarkan Bahasa Inggris tetapi ketika beranjak ke Sekolah Dasar (SD) mereka tidak diwajibkan mempelajari Bahasa Inggris karena tidak termasuk Kurikulum SD. Setelah naik ketingkat selanjutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kurikulum Bahasa Inggris lalu disertakan. Boleh dibilang, ketika SD siswa akan melupakan 'ilmu' Bahasa Inggris mereka. Sedangkan Malaysia, kecakapan Bahasa Asing mereka justru ditingkatkan jumlahnya ketika tingkatan sekolah mereka juga bertambah. Pada Primary School atau tingkat SD, pelajaran Bahasa Asing ditambah dengan Bahasa Cina dan India. Tahun 2003 lalu, pemerintah Malaysia kembali meningkatkan proses pembelajaran Bahasa Asing mereka dengan membuat kurikulum pelajaran Matematika, Biologi, Fisika dan Kimia dengan proses belajar mengajarnya harus menggunakan Bahasa Inggris.
Kata beberapa teman diskusi forum online dari Malaysia, peraturan tersebut sempat menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap siswa yang fasih berbahasa inggris dengan yang tidak. Hampir sama seperti tingkat SD di sekolah kita, Malaysia juga menerapkan sistem yang mirip dengan sistem 6 kelas kita, sesuai usia mereka dari usia 7 sampai 12 tahun. Pada tahap akhir Primary-School mereka juga menerapkan ujian akhir yang mereka sebut Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) untuk memasuki pendidikan tahapan selanjutnya yaitu Secondary-School atau gabungan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Secondary-School terdiri dari 5 tingkatan dan biasanya tiap tingkatan berlangsung selama satu tahun, setiap tingkatan diwajibkan melakukan Ujian untuk naik ketingkat selanjutnya dan akan tetap tinggal jika tidak lulus Ujian untuk mengulang tingkatannya. Ketika siswa telah berada di tingkatan 3, mereka harus mengambil Ujian yang mereka sebut Penilaian Menengah Rendah (PMR) hampir sama dengan yang kita lakukan pada siswa kelas 3 SMP untuk Ujian Akhir mereka. Hanya saja jika lulus ujian, siswa Malaysia masuk ketingkatan 4 disekolah yang sama. Pada tahap tersebut mereka harus memilih dua jalur pelajaran apakah Sains atau Seni, pelajaran tersebut diambil selama 2 tingkatan dengan waktu 1 tahun ditiap tingkatan. Sedangkan siswa SMA kita, mengambil jalur IPA atau IPS dan belajar selama 3 tingkatan dengan waktu 1 tahun untuk tiap tingkatan. Untuk lulus dari Secondary-School, pada tingkat 5 mereka diwajibkan mengambil Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) sama seperti siswa kita kelas 3 SMA yang harus mengikuti Ujian Akhir Negeri untuk lulus SMA.
Namun SPM ternyata lebih kompleks daripada UAN kita, karena SPM berdasarkan pendidikan peninggalan penjajah Inggris, sehingga ketika peserta diskusi forum online menjelaskan model sistemnya, saya benar-benar tidak mengerti karena terjadi perubahan-perubahan sistem pendidikan untuk SPM yang banyak sekali, dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Pada awal perkembangan sistem pendidikan Malaysia pasca Kemerdekaan mereka, dikatakan bahwa lulusan SPM saat itu adalah orang-orang yang ahli debat, seniman drama, olahragawan bahkan Kepanduan atau Pramuka. Sedangkan lulusan SPM sekarang sama sekali tidak mengerti berdebat, tidak bisa memahami tulisan kaki sebuah jurnal, bahkan tulisan tangan mereka buruk sekali. Semua kesalahan tersebut terletak pada banyaknya standar kelulusan SPM yang harus di ikuti padahal isinya hanya mengejar nilai, bukan membentuk karakter seseorang menjadi lebih ahli. Mungkin sama seperti sistem pendidikan kita, siswa kita hanya dikejar-kejar standar kelulusan yang tinggi tanpa memperhatikan pembentukan atau kaderisasi jiwa, pikiran dan moral mereka.
Ekstrakulikuler diwajibkan kepada siswa Secondary-School saja dan minimal harus mengambil dua cabang ekstrakulikuler yang terdiri dari empat kategori; Kelompok Intra, Seni Pertunjukan, Olahraga dan Klub Sosial. Setiap kompetisi dan pertunjukkan dilaksanakan dengan terjadwal sekali. Setelah lulus di tingkat Secondary-School, siswa Malaysia bisa langsung melanjutkan pendidikan mereka ke sekolah tinggi atau universitas.
Perhatian pemerintah Malaysia terhadap masalah pendidikan memang sangat ketat dan sistematis, tenaga pengajar saja harus dimasukkan dahulu ke universitas khusus bagi Guru. Dan jangan ditanya tentang gaji para guru di Malaysia beserta tunjangan-tunjangannya, sangat jauh lebih besar dibandingkan gaji guru PNS di Indonesia. Ketatnya perhatian pemerintah Malaysia terhadap sistem pendidikan mereka dapat diukur dari tidak hanya dalam pembangunan fisik pendidikan mereka saja, tetapi dari banyaknya perubahan-perubahan sistem yang mereka lakukan, dan perubahan tersebut selalu berdampak positif bagi manajemen sistem pendidikan mereka juga.
http://www.blogcatalog.com
PENGALAMAN OBSERVASI DI ELEMENTRY SCHOOL DI COLUMBUS – USA
Observasi ke sekolah sekolah di Amerika adalah merupakan salah satu kegiatan dan pengalaman yang sangat menarik bagi kita yang mengikuti program Sandwich di OHIO STATE UNIVERSITY- USA, karena semua mahasiswa Quality Assurance/ School leadership dari Indonesia berlatar belakang guru, Kepala Sekolah, Pengawas ( pendidikan).
Ada 9 sekolah yang kita kunjungi disini terdiri dari Kinder Garden (TK), Elementry School ( SD), Middle School ( SMP), High School (SMA). Di sekolah kita melalukan observasi tentang semua component yang ada di sekolah, mulai dari SDM, fasilitas, management sekolah, wawancara dengan Kepala sekolah dan wakil, guru mata pelajaran, konseling, pegawai, student dan orang tua siswa/ komite, pengawas dan melihat secara lansung proses pembelajaran semua mata pelajaran ( Math, science, language&art, Social, music, sport,) dan kegiatan ekstra kurikuler.
Pada kesempatan ini saya akan menulis gambaran tentang sekolah dasar (Elementry school) di luar negeri, khususnya USA. Sekolah Dasar disini, terintegrasi satu atap dengan TK, Sekolah Dasar mulai dari Pre school (TK) satu tahun , kemudian masuk grade 1 sampai dengan grade 5, jadi tetap juga 6 tahun .
Melihat proses belajar mengajar di SD memang sangat menarik, karena sangat jauh berbeda dengan Sekolah Dasar di Negara kita Indonesia. Pertama dari Fasilitas, Fasilitas disekolah dasar disini sangat lengkap, setiap kelas dilengkapi dengan Komputer (5 bh) untuk siswa, Labtop untuk guru, Infocus, OHP. TV, pustaka kecil yang lengkap dengan buku buku sumber yang dipakai dalam , Locker, Meja belajar dan kursi yang didesain dengan baik sehingga ruang tidak terlalu padat, didepan papan tulis terbentang karpet kecil, yang digunakan sewaktu guru menyajikan materi/ menanamkan konsep, siswa boleh duduk dikarpet, sehingga betul betul bisa membuat anak enjoy dalam belajar(enjoyful learning). Jumlah siswa memang terbatas 20 atau 22 dalam satu kelas. Dengan sistim moving kelas yaitu siswa yang pindah kelas setiap pertukaran mata pelajaran, guru tetap berada dikelas masing masing, misalnya guru matematik akan berda selalu di kelas tersebut, jadi mereka tidak punya kantor majelis guru, kantor guru berada dikelas masing masing.
Guru disini berfungsi sebagai fasilitator, setiap materi yang akan dipelajari hari besok akan diberi tugas oleh guru hari ini , setiap hari tugas tersebut sudah ditulis dipapan. Anak anak tinggal mencatat apa yang harus dikerjakannya dirumah, tugasnya bisa berupa bacaan, menjawab pertanyaan, mengerjakan latihan, mencari di internet sesuai dengan materi yang akan diajar pada pertemuan berikutnya, sehingga anak harus membaca dan belajar dirumah sebelum pelajaran diajarkan. Disini konsep inquiry atau anak menemukan sendiri ditanamkan pada anak. Pada pertemuan besoknya guru akan mengumpulkan tugasnya duluan. Kemudian didiskusikan bersama dan dibahas lagi .Kegiatan pembelajaran dikelas seperti membuat latihan dan tugas tugas , diberikan dalam bentuk kerja kelompok dan individu. Begitulah pelaksanaan pembelajaran untuk semua mata pelajaran pokok seperti Matematika, Science, Bahasa, IPS disekolah sekolah dasar.
Bagaimana kalau oleh siswa yang tidak mengerjakan tugas/ belajar yang diberikan kemaren? Siswa yang seperti ini akan disuruh keluar dan mengerjakan tugasnya dipustaka . Begitu juga untuk anak yang agak lemah, guru akan memberi tambahan belajar diluar jam pelajaran secara gratis. Jadi disini anak anak memang belajar secara tuntas. Tidak ada istilah private lesson ( Les) mata pelajaran bagi anak sekolah disini, karena guru betul betul bertangung jawab untuk keberhasilan anak didiknya.
Point yang paling menarik dan berkesan lagi adalah, setiap tugas atau hasil karya siswa, selalu di pajangkan di dinding/tembok kelas atau pun diluar kelas siswa, apapun bentuknya, baik atau jelek semuanya harus di pajangkan, untuk memotivasi dan evaluasi diri sendiri (self evaluation).
Kelebihan anak anak SD disini adalah , (1) Rajin Membaca, (2) Bisa menggunakan high technology, (3,) Disiplin tinggi, (4) kreativitas tinggi, (5) Resfect (hormat) dengan siapa saja, (6) Percaya diri, Jujur, sportif
Kelebihan guru : (1) Rajin membaca ( banyak buku referensi) , (2) bisa menggunakan high technology, (3) Kreativitas tinggi, (4) metode yang bervariasi
Sumber : http://www.diknas-padang.org
7 KIAT SUKSES SATU TAHUN AJARAN BAGI GURU
Agar sukses di satu tahun ajaran, guru perlu melakukan persiapan. Banyak sekolah yang mewajibkan guru nya masuk 3 hari atau bahkan lebih saat siswa nya masih libur panjang. Semuanya agar saat siswa masuk di hari pertama, semuanya siap dan terencana, baik kelas secara fisik atau administrasi yang sifatnya menjadi `pegangan' selama satu tahun penuh.
Berikut ini saya ingin berbagi mengenai hal apa saja yang mungkin bisa menjadi kiat agar sukses satu tahun ajaran.
1. menyiapkan sebuah folder khusus yang berisi nya adalah semua `paper work' atau pekerjaan yang bersifat keadministrasian dan ditulis dikertas. Isinya antara lain, visi misi sekolah, nama siswa, rencana pembelajaran dari hari ke hari, dokumen kurikulum serta hal lain yang memudahkan anda menjalankan administrasi satu tahun ajaran penuh.
2. menyepakati peraturan dan konsekuensi di kelas, latih terus di dua minggu pertama sampai satu bulan di tahun ajaran baru. Dijamin anda tidak akan bermasalah dengan perilaku siswa di kelas.
3. Menyiapkan `template' yang berisi nama anak dan kolom yang kosong disebelahnya, untuk bisa memudahkan anda menggunakannya saat menilai siswa atau bahkan hanya untuk mengecek kelengkapan sesuatu yang perlu dibawa siswa.
4. Siapkan games atau permainan yang bisa dimainkan saat siswa jenuh atau butuh penyegaran. 10 permainan saja tidak usah banyak-banyak. Permainan tadi bisa anda lakukan satu tahun penuh.
5. Lakukan pemetaan materi pembelajaran satu tahun penuh (atau tema jika anda menggunakan pendekatan `tematik'). Mulai sekarang lepaskan ketergantungan pada buku paket. Jadikan itu hanya menjadi salah satu rujukan saja, artinya jangan kemudian buku paket mendominasi alur pembelajaran dan pengajaran kita di kelas. Karena anda yang mengajar dikelas maka anda yang pegang kendali. Jika anda melakukan pemetaan, menjadi mudah bagi anda untuk menentukan kapan membagi hal yang sifat nya rutin seperti portfolio atau melakukan kegiatan lain yang ada hubungannya dengan pembelajaran seperti tes dan lain sebagainya.
6. Menyiapkan arus atau penataan informasi, bagaimana siswa tahu dan mengerti jika ada pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Bagaimana memberitahu orang tua mengenai sebuah informasi yang penting. Hal yang tidak kalah penting adalah menyiapkan fisik kelas, bagaimana individu yang ada didalamnya berinteraksi, bagaimana kelas di tata serta hal lain yang memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran.
7. Lakukan refleksi minimal seminggu sekali atau sehari sekali. Anda bisa menulis apa saja mengenai pembelajaran yang anda lakukan selama seminggu atau pada hari itu. Ditulis dalam sehelai kertas, walau beberapa kalimat, akan bisa membuat anda menjadi guru yang lebih baik.
Beberapa tips di atas adalah gambaran dari betapa sejatinya guru yang baik, melakukan semuanya secara terencana sambil terus memperbaharui kualitas diri.
Jika anda sudah punya perencanaan satu tahun penuh saya jamin anda makin punya waktu untuk hal yang lain yang merupakan hobi atau bisnis sampingan anda, atau menulis buku barangkali? Seperti yang dilakukan Pak Wijaya Kusumah lewat buku `Penelitian Tindakan Kelas' nya, atau anda punya tips sukses tahun tahun ajaran penuh yang lain dan berharga yang bisa dibagi melalui forum ini? saya persilahkan
Terima kasih
Agus Sampurno
http://gurukreatif. wordpress. com/
PEMERATAAN PENDIDIKAN, SEBUAH PROBLEMATIKA PENDIDIKAN NASIONAL
Kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal Depdiknas (Kompas, 21/2/2009).
Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.
Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Dalam praktek, perwujudan pemerataan pendidikan tidak hanya memerlukan undang-undang dan dana. Apa permasalahan pemerataan pendidikan sekarang?
Miskonsepsi
Hambatan utama pemerataan justru pada konsep ”gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, hingga 63 tahun kemerdekaan, negara belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat.
Masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar ”gratis” atau bagaimana mengatasi aneka masalah teknis penyaluran dana bantuan operasional, tetapi konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat.
Sayang, tidak selamanya pemegang amanat rakyat melaksanakan ketentuan pembiayaan pendidikan. Misalnya, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1). Tetapi Mendiknas bersikeras pemerintah hanya menanggung biaya operasional (Kompas, 24/2/2009).
Artinya, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, pewujudannya kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat. Tetapi kita tahu, elite negara sebagai politikus bertindak berdasar naluri kepentingan, bukan keberpihakan substansial.
Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, sebelum negara ini ada.
Pemerintah daerah
Di sisi lain, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah.
UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.
Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.
Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Warga Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana dan Kota Yogyakarta, beruntung karena pemimpin mereka berusaha keras memenuhi tanggung jawab pembiayaan pendidikan.
Namun di berbagai tempat lain, ketentuan dan janji pembiayaan pendidikan justru membuat warga kecewa. Di Papua misalnya, gedung sekolah yang dibangun atas dana pemerintah pusat, selama enam bulan setelah diresmikan masih kosong tanpa kegiatan belajar-mengajar. Menurut pejabat setempat, itu karena pemerintah pusat hanya menyediakan gedung, meja-kursi, dan tidak membayar gaji guru, yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah.
Menyesatkan publik
Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Di Lampung, sejumlah guru terdorong berutang karena kampanye pilkada menjanjikan pelunasan utang jika calon tertentu terpilih.
Kasus-kasus itu menunjukkan variasi pemaknaan dan implementasi otonomi pembiayaan pendidikan karena kesadaran yang berbeda antardaerah.
Karena itu, monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.
Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM
(Dimuat Kompas, 2 Maret 2009)
Problematika Pendidikan Indonesia
TULISAN Agus Suwignyo di Kompas (8 April 2004) menggarisbawahi urgensi dan relevansi sistem pendidikan Indonesia, terutama dari sudut peserta didik. Suwignyo menyimpulkan bahwa signalling yang ingin disampaikan oleh sektor industri di Indonesia adalah betapa pentingnya karakter personal dan interpersonal lulusan perguruan tinggi dalam proses rekrutmen.
SELANJUTNYA, benang merah yang bisa ditarik dari tulisan itu adalah pentingnya kerja sama antara perusahaan dan lembaga pendidikan, sebagai penyedia input sumber daya manusia (SDM). Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Suwignyo, Marsel Ruben Payong (Kompas, 19 April 2004) menggarisbawahi hubungan signalling perguruan tinggi (PT) dengan dunia industri, terutama dari kesiapan dan relevansi kurikulum PT.
Dalam ilmu ekonomi, kita dengan mudah menemukan apa yang ingin disampaikan oleh Suwignyo dan Payong dalam literatur information economics (ekonomi informasi) dan proses signalling. Sementara itu, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya jauh lebih kompleks daripada sekadar interaksi pasar antara PT dan industri. Dengan kata lain, baik Suwignyo maupun Payong telah mereduksi permasalahan menjadi sebuah kepingan puzzle, tanpa memberikan pemahaman keseluruhan alias the big picture akan persoalan pendidikan Indonesia.
Ini tidak mengherankan karena kecenderungan manusia adalah apabila kita memperhatikan ’pohon’, kita tidak melihat ’hutan’ secara keseluruhan. Sebelum kesalahpahaman semakin berlarut-larut, tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat problematika penyelenggaraan pendidikan Indonesia dalam perspektif yang lebih jernih dan menyeluruh.
Pendidikan dasar
Proses pembentukan SDM- sebagian kalangan menyebutnya human capital-adalah meliputi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi individu, ditinjau dari banyak segi, dari sejak usia dini hingga terjun dalam dunia profesional. Jadi, ini mencakup sekolah, baik formal maupun informal, pelatihan, on-the-job training, dan semua kegiatan lain yang bertujuan meningkatkan pengetahuan.
Akan kaitannya dengan pemberdayaan SDM tersebut, Suwignyo menekankan signifikansi penilaian kemampuan dan kreativitas individu sebelum memasuki dunia profesional, sementara Payong berargumen bahwa PT seyogianya lebih berani membuat terobosan mata kuliah baru yang lebih relevan bagi dunia kerja. Namun, sayangnya, saran kedua penulis bahwa proses ini dapat dilakukan pada tahap pendidikan tingkat lanjut sesungguhnya tidak tepat. Ini sudah pasti sangat terlambat. Pembentukan SDM justru harus dilakukan sejak usia dini ketika siswa masih ’lentur’. Apabila proses peningkatan SDM dipaksakan pada tingkat lanjut, katakanlah PT, akibat yang ditimbulkan justru negatif. Ibarat membentuk tembikar tanah liat yang telah mulai mengering dan mengeras.
Seorang rekan mahasiswa di Inggris pernah melemparkan lelucon bahwa kuliah di PT luar negeri lebih “mudah” dan setelah lulus juga lebih cepat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Adapun kuliah di PT dalam negeri jauh lebih “sulit” karena terlalu banyak mata kuliah yang tidak jelas relevansinya. Celakanya, setelah lulus pun akhirnya jadi pengangguran. Saat mendengar seloroh itu, seketika saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu sewaktu tanpa sengaja mengamati materi ujian seorang keponakan yang masih duduk di sekolah dasar (SD). Saya terkejut bukan kepalang! Betapa tidak? Pertanyaan yang diajukan benar-benar sulit, dan terus terang saya sangsi apakah seorang mahasiswa sanggup menjawabnya.
Dari kedua “kasus” pendidikan PT dan SD di atas, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah pola pendidikan tinggi di Indonesia meneruskan “tradisi” pendidikan SD yang sarat dengan muatan, namun sedikit relevansi. Mengapa ini semua bisa terjadi? Jawabannya terletak pada kesalahpahaman pengelola pendidikan formal yang semata menekankan pentingnya kelulusan dan muatan pengajaran. Tidak jarang akhirnya siswa terpaksa mengikuti pelajaran tambahan, baik yang diselenggarakan oleh sekolah yang bersangkutan maupun lembaga lain, semata-mata untuk mengejar target beban dan kelulusan.
Celakanya, sebagian besar masyarakat tidak punya banyak pilihan selain memercayakan pendidikan siswa semata kepada pendidikan formal. Sedemikian parahnya “beban” yang ditanggung peserta didik sehingga sebuah sekolah taman kanak-kanak di Jakarta menjalankan prosedur tes psikologi bagi calon siswa! (Kompas, 18 April 2004).
Pendidikan dan politik
Banyak kekeliruan yang seharusnya dapat dielakkan dalam pengelolaan pendidikan. Yang perlu diingat adalah bahwa kontrol sosial terhadap pendidikan formal adalah hal mutlak dan harus selalu diutamakan. Pendidikan di Indonesia terlalu berharga untuk semata diserahkan mentah-mentah kepada para ’pendidik’ dan birokrat, apalagi para politisi pembuat undang-undang (UU) pendidikan. Di saat hiruk-pikuk kampanye pemilu, siapa yang peduli dengan pengembangan pendidikan? Partai mana yang berani “menjual” platform pendidikan? Berapa anggaran pendidikan partai politik apabila mereka menang pemilu?
Pendidikan selalu merupakan hal yang terabaikan dalam politik sehingga akhirnya tak heran apabila tak ada satu partai pun yang peduli bahwa kegiatan belajar mengajar di SMPN 56 Jakarta Selatan digusur sehingga siswa terpaksa belajar di luar (Kompas, 19 April 2004).
Seberapa parahnya persoalan pendidikan Indonesia terungkap jelas dalam artikel, UAN Apa yang Kau Cari? (Kompas, 17 April 2004). Tulisan ini jelas- jelas menyatakan bahwa kurikulum dan sasaran pendidikan Indonesia tidak mengalami perubahan berarti sejak lebih dari setengah abad yang lalu.
Pada saat itu kurikulum Indonesia didesain meniru pendidikan Belanda, yang tujuannya tidak lain adalah mempersiapkan lulusan untuk bekerja di kantor-kantor VOC, menjadi pegawai kompeni yang dianggap berstatus nomor wahid. Kebanyakan akhirnya beralih menjadi pegawai negeri setelah Indonesia merdeka dan kompeni hengkang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ini masih relevan?
Karakter sebagai fitrah
Penyelenggara pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah manusia memang berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan akan talenta dan keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran apabila atlet atau penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar daripada bankir, birokrat, apalagi politisi.
Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim, manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan. Tujuan pendidikan bukanlah menyeragamkan kemampuan murid hingga memahami seluruh muatan pendidikan dan lulus ujian, melainkan mengidentifikasi dan mengembangkan karakter-karakter unggul yang dimiliki peserta didik. Sudah saatnya kita memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia-yang tidak banyak berubah sejak setengah abad yang lalu-untuk lebih menghargai fitrah manusia. Tidak semua orang ingin menjadi pegawai negeri, bukan?
Ada fenomena menarik belakangan ini sehubungan dengan semakin merosotnya nilai dollar dan semakin berlarut-larutnya kasus pelanggaran UU antimonopoli program aplikasi komputer. Bila terbukti Windows menyalahi UU antimonopoli di Eropa, bisa jadi predikat orang terkaya nomor satu akan berpindah dari pimpinan Microsoft, pembuat sistem operasi tersebut, kepada bos IKEA, seorang “tukang kayu”. Di negara kita mungkin tidak begitu terkenal, tetapi cabang IKEA sudah tersebar di mana-mana di seluruh dunia, padahal sumber utama kayunya berasal dari hutan tropis Indonesia.
Nah, sekarang coba kita berandai-andai. Kalau seorang “tukang-kayu” saja bisa jadi kandidat orang nomor satu terkaya, padahal bahan utamanya-physical capital-berasal dari negara kita. Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi yang dimiliki Indonesia apabila human capital-nya diolah dengan benar.
Kusuma Andrianto Mahasiswa PhD, Peneliti Human Capital Leeds University Business School, UK
Dimuat di Kompas, Jumat 30 April 2004
MENYEKOLAHKAN ANAK HANYA IMPIAN
>> Thursday, 13 August 2009
Prawiro (54), buruh tani menginjak-injak padi agar terlepas dari batangnya di Bantul, DIY. Selama musim panen ia menjadi buruh tani dengan upah Rp 20.000 per hari.
Hidup serba kekurangan sudah menyatu dalam kehidupan se- orang buruh tani. Makan dengan lauk seadanya, bahkan hanya makan tiwul (singkong yang dikeringkan), adalah hal biasa. Bisa menyekolahkan anak hingga SMA hanyalah impian, karena tak ada dana untuk membiayai anak bersekolah. Bisa sekolah hingga SLTP saja sudah merupakan keajaiban.
Munali (48 tahun), seorang buruh tani asal Desa Pepe, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, bisa menggambarkan bagaimana nelangsanya kehidupan seorang buruh tani di negeri ini. Hidupnya serbakekurangan. Makan hanya dengan lauk seadanya, dua anaknya putus sekolah karena tidak ada biaya untuk menyekolahkannya.
“Penghasilan sebagai buruh tani hanya untuk bisa makan. Selebihnya kami hidup serbakekurangan,” kata Munali, kepada SP, di tengah sawah dengan tanaman padi menghijau milik majikannya, Sumali, Senin (10/8).
Kedua anaknya, Rokhmad dan Ainur Rokhim, sekarang harus bekerja sebagai buruh pengangkat kain di kawasan Kapasan, Surabaya. Keduanya tidak bisa melanjutkan sekolah dan hanya mengantongi ijazah SMP, karena ketiadaan biaya. Munali tak mampu membiayainya.
“Kedua anak saya sudah mampu membiayai diri mereka sendiri dengan bekerja sebagai buruh pengangkat kain. Sebagai buruh tani, saya rata-rata hanya berpenghasilan Rp 10.000 sehari. Uang itu hanya cukup untuk makan, dan pasti tidak cukup untuk membiayai anak-anak saya sekolah,” ujar Munali, yang terlihat kepanasan bekerja di sawah siang itu.
Saat kedua anaknya masih sekolah, uang yang diterima Rp 300.000 per bulan itu, harus diambil sebagian untuk membiayai mereka.
“Dulu untuk keperluan mereka juga diambil dari penghasilan sebagai buruh tani yang sedikit itu, untuk membeli buku dan sedikit uang jajan mereka.
Untuk membiayai mereka melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi sangat tidak mungkin dengan penghasilan yang hanya sebesar itu,” ujarnya lagi.
Pekerjaan sebagai buruh tani sudah digeluti Munali sejak dia sudah bisa bekerja.
Tanpa memiliki keterampilan lainnya, kecuali bekerja sebagai buruh tani membuat kehidupan Munali tidak mengalami perubahan meskipun presiden di negeri ini sudah beberapa kali berganti dan sekarang Indonesia akan merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-64, tanggal 17 Agustus 2009 mendatang.
Di tengah kehidupan yang memprihatinkan tersebut, Munali masih mempunyai harapan terhadap Presiden SBY, yang terpilih untuk memimpin negeri ini hingga 2014 mendatang. “Saya berharap presiden terpilih bisa membantu para buruh tani dengan mengucurkan kredit murah dalam bentuk lahan pertanian. Dengan demikian kami tidak hanya bekerja sebagai buruh tani, tapi bisa memiliki lahan yang dikerjakan sendiri,” tambahnya.
Buruh tani, kata Munali, dibelikan lahan pertanian melalui bank milik pemerintah atau pemerintah daerah. Sertifikat kepemilikan dibuat jaminan, sementara buruh tani berkewajiban mengangsur dalam jangka panjang, yang tidak memberatkan. Melalui cara ini diharapkan buruh tani dapat mengelola lahan pertanian miliknya, tanpa harus bergantung kepada majikannya.
Begitu pula dengan Ny Prawiro (54 tahun) yang bekerja sebagai buruh tani sejak berusia muda. Dia hanya bekerja ketika ada garapan di sawah. Upah yang diterima untuk mengolah sawah adalah 25 kilogram beras setiap musim panen. Jika bekerja secara harian, dibayar hanya Rp 20.000 per hari.
“Upahnya paling-paling habis untuk makan harian sekeluarga,” kata Ny Prawiro , perempuan asal Bantul, Jawa Timur.
Namun perempuan dengan empat anak ini mengaku mampu menyekolahkan salah seorang anaknya hingga lulus STM. “Yang lulus STM kemarin sudah bekerja di bengkel motor. Toh jadi buruh juga kan,” ujarnya menegaskan nasibnya secara turun-temurun.
“Dulu simbah (kakek-Red) memang punya sawah, tapi sudah habis dibagi-bagi buat anak yang laki-laki, kebetulan saya keturunan dari ibu atau anak perempuan, jadinya tidak kebagian. Jadilah kami mburuh,” katanya.
Kalau pekerjaan di sawah sedang lowong, Ny Prawiro, banting stir menjadi tukang cuci atau tukang seterika di usaha-usaha laundry. Kalau pas musim tanam, juragan langganannya selalu mempercayainya. “Pas musim tanam, saya biasanya bekerja nonstop selama dua minggu. Ya, bayarannya Rp 20 ribu sehari. Tapi kalau pas musim panen, setiap lahan 2 kali 14 meter, saya dapat 25 kilogram beras, tergantung dari berapa kemampuan saya,” katanya lagi.
Keterampilannya itu diturunkan juga kepada anaknya yang perempuan. Sejak masih di usia SMP, anak-anaknya sudah pandai menanam padi hingga memanen. Jadi kelak, tongkat estafet sebagai buruh tani akan turun ke anak perempuannya. Artinya, tidak akan ada perbaikan nasib bagi anak keturunannya.
Entah sampai kapan generasi buruh ini terus menurun kepada anak cucunya. Tanpa bantuan pemerintah untuk menyekolahkan anak-anak mereka, kehidupan buruh tani ini tidak akan bisa ditingkatkan. Turun temurun mereka tetap menjadi buruh tani yang miskin. Potret kehidupan Munali dan Ny Prawiro telah berbicara tentang hal ini.
Data BPS pada 2002 menyebutkan, buruh tani pada 1995 jumlahnya sekitar 5,064 juta keluarga, dan meningkat menjadi 7,10 juta keluarga pada 1999. Pada 2003 tercatat ada 11,7 juta keluarga. Kesulitan ekonomi yang mengakibatkan lapangan kerja sangat terbatas serta tidak adanya perbaikan nasib, akan membuat jumlah buruh tani terus meningkat. [152/080]
Sumber: Suara Pembaruan, 12 Agustus 2009, SP/Fuska Sani Efani
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9721
Pengertian Sekolah Berstandar Internasional (SBI)
>> Wednesday, 22 July 2009
Keinginan melakukan rintisan penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI) dilatarbelakangi oleh alasan-alasan berikut. Pertama, era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk, dan meningkatkan mutuproduk. Keunggulan manajemen akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Keunggulan sumber daya manusia ( SDM ) merupakan kunci daya saing karena SDM lah yang akan menentukan siapa yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan, dan kemenangan dalam persaingan.
Kedua, rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Pasal 50 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidkan nasional (UUSPN 20/2003) yang menyebutkan bahwa “ Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”. Dan Surat Keputusan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional No. 230/C3/KEP/2008 tanggal 8 Februari 2008, Tentang Penetapan Sekolah Menengah Pertama sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tahun 2008.
Ketiga, penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme ( fungsionalisme ). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melelui proses pendidikan yang bermartabat, proses perubahan ( kreatif, inovatif, dan eksperimentif ), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus memperhatikan perbedaan kecerdasan, kecakapan, bakat, dan minat peserta didik. Jadi peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan potensi intelektual, emosional, dan spiritualnya.
Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun global. Terkait dengan tuntutan globalisasi pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.
Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainnya. Misalnya pembelajaran tidaklah sekedar memperkenalkan nilai-nilai (learning to know), tetapi juga bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong menerapkan nilai-nilai tersebut (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together) dan menjadikan peserta didik percaya diri dan menghargai dirinya (learning to be).
B. PENGERTIAN SBI
SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Dengan pengertian ini, SBI dapat dirumuskan sebagai berikut :
SBI = SNP + X
Di mana SNP adalah standar nasional pendidikan (SNP) yang meliputi : kompetensi llulusan, isi proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dana, pengelolaan, dan penilaian; dan X merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adapsi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
Lulusan SBI diharapkan, selain menguasai SNP di Indonesia, juga menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju. Untuk itu pengakraban peserta didik terhadap nilai-nilai progresif yang diunggulkan dalam era global perlu digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan SBI. Nilai-nilai progresif tersebut akan dapat mempersempit kesenjangan antara Indonesia dengan negara-negara maju, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknologi. Perkembangan ekonomi dan teknologi sangat tergantung pada penguasaan disiplin ilmu keras ( hard science ) dan disiplin ilmu lunak ( soft science ). Disiplin ilmu keras ( hard science ) meliputi matematika, fisika,kimia, biologi, astronomi, dan terapannya yaitu teknologi komunikasi, transportasi, manufaktur, konstruksi, bio energi, dan bahan. Disiplin ilmu lunak ( soft science )meliputi sosiologi, ekonomi, bahasa asing ( Inggris utamanya), dan etika global.
C. VISI, MISI DAN TUJUAN SBI
Mengacu pada visi pendidikan nasional dan visi Depdiknas, maka visi SBI adalah “terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia Indonesia yang memiliki kompetensi bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan secara intensif terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati, dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain.
Berdasarkan visi tersebut, maka misi SBI adalah mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.
Penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus. Lulusan yang berkelas nasional secara jelas telah dirumuskan dalam UU No. 20/2003 dan dijabarkan dalam PP 19/2005, dan lebih dirincikan lagi dalam Permendiknas No. 23/2006 tentang standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang bunyinya sebagai berikut :
Pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, dan ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Perlu dicatat bahwa sebagai upaya untuk mengembangkan pendidikan bertaraf internasional, BSI harus tetap memegang teguh untuk mengembangkan jati diri / nilai-nilai bangsa Indonesia.
D. STANDAR SBI
Mengingat SBI merupakan upaya sadar, intens, terarah, dan terencana untuk mewujudkan citra manusia ideal yang memiliki kemampuan dan kesanggupan hidup secara lokal, regional, nasional, dan global. Maka perlu dirumuskan rumus SBI yang meliputi output, proses, dan input.
Pertama, output / lulusan SBI memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global.
Kedua, proses penyelenggaraan SBI mampu mengakrabkan, menghatatkan dan menerapkan nilai-nilai ( religi, ekonomi, seni, solidaritas, dan teknologi mutakhir dan canggih ).
Ketiga, input adalah segala hal yang diperlukan untuk berlangsungnya roses dan harus memiliki tingkat kesiapan yang memadai. Input penyelenggaraan SBI yang ideal untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang bertaraf internasional meliputi peserta didik baru ( intake ) yang diseleksi secara ketat dan masukan instrumental yaitu kurikulum, pendidik, kepala sekolah, tenaga pendukung, sarana dan prasarana, dana dan lingkungan sekolah. Intake ( peserta didik baru ) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, scholactic apptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara.
E. MODEL-MODEL PENYELENGGARAAN
Model penyelenggaraan menurut SBI menurut UU No.20 / 2003 ada 3 jenis, yaitu :
1. Sekolah Nasional
2. Sekolah Asing
3. Sekolah Franchise Asing
Sekolah Nasional adalah sekolah yang menerangkan ketentuan nasional secara utuh. Sekolah ini tidak dicampuri oleh sistem pendidikan negara lain.
Sekolah Asing adalah sekolah yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah NKRI, yang peserta didiknya adalah warga negara asing dan menggunakan sistem yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah RI. Pemerintah Indonesia tidak mengurus jenis sekolah ini, kecuali pemberian izin pendirian.
Sekolah Franchise Asing merupakan lembaga pendidikan dasar dan menengah asing yang terakreditasi di negaranya diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan di wilayah NKRI dengan menggunakan kurikulum asing dengan catatan wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik WNI dan wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah NKRI, yaitu dengan mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan dari Indonesia.
SBI meskipun bertaraf internasional, sistemnya menggunakan sistem pendidikan nasional Indonesia, baik kurikulum, pendidikan, dan ketentuan lainnya.
Pada dasarnya SBI adalah sekolah Indonesia yang menerapkan SNP Indonesia plus pengayaan/penguatan/pendalaman internasional yang digali dari sekolah-sekolah dalam dan luar negeri.
Model Pengembangan Sekolah yang Ada ( Exciting Develoved SBI )
Pengembangan SBI juga dapat dilakukan dengan mengembangkan sekolah yang telah ada saat ini, khususnya sekolah yang memiliki mutu bagus ( misalnya SSN yang baik atau kategori formal mandiri ) dan memiliki guru profesional, kepala sekolah yang tangguh, dan sarana serta prasarana yang memungkinkan dapat dikembangkan lebih lanjut.
Pola ini jauh lebih murah, namun memerlukan tahapan yang jelas, terencana dan sistematis. Perlu disadari bahwa mengubah sekolah dengan kondisi seperti saat ini menjadi bertaraf internasional tidak . Membangun gedung dan melengkapi fasilitas mungkin dapat dilakukan dengan relatif cepat. Namun, meningkatkan mutu guru, menyiapkan sistem manajemen, dan mengubah budaya sekolah merupakan tantangan besar yang harus disadari sejak awal.
Oleh karena itu, jika ingin mengembangkan SBI dari sekolah yang sudah ada saat ini, perlu diterapkan langkah-langkah perencanaan sebagai berikut : dimana kita saat ini ( kondisi sekolah saat ini ), kemana kita akan pergi ( kondisi sekolah saat sudah menjadi SBI yang sesungguhnya), bagaimana caranya kita mencapai ke sana ( strategi/tahapan pencapaian ), dan bagaimana caranya mengetahui bahwa kita telah mencapai SBI ( monitoring dan evaluasi ). Dengan membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi ideal menjadi SBI akan diketahui kesenjangan yang ada, baik fasilitas, guru, manajemen, kultur sekolah, dan sebagainya. Kesenjangan itulh yang harus didekatkan atau bahkan dihapuskan melalui strategi dan pentahapan yang jelas.
F. MODEL PENGEMBANGAN
1. Model Pengembangan Sekolah yang Ada
2. Model Kemitraan
G. STRATEGI PEMBIAYAAN
Penyelenggaraan SBI memerlukan biaya yang memadai. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa SBI memerlukan input dan proses yang memadai untuk mencapai output yang bertaraf internasional. Input, kurikulum, guru, maupun sarana dan prasarana harus dipersiapkan agar bertaraf internasional, sehingga memerlukan biaya besar. Proses belajar mengajar SBI menerapkan pendekatan-pendekatan yang kreatif, inovatif, dan eksperimentif sehingga dukungan dana yang besar sangat diperlukan. Pertanyaannya adalah “Siapa, membiayai berapa banyak, untuk apa ?”
Berdasarkan kesepakatan-kesepakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka proporsi pembiayaan SBI dapat diformulasikan sebagai berikut. Pemerintah Pusat membiayai 50 %, Pemerintah Daerah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Formulasi ini bukan harga mati. Artinya bagi daerah-daerah yang kaya, mereka dapat nirkontribusi lebih dari besarnya prosentase tersebut.
Bagi peserta SBI yang lemah secara ekonomi dapat didukung pembiayaannya melalui subsidi silang dari peserta didik yang mampu. Hal ini penting digarisbawahi agar SBI merupakan sekolah untuk semua dan bukan untuk sekolah eksklusif yang diperuntukkan bagi kaum mampu semata.
Mengingat keterbatasan dana dari pemerintah pusat dan daerah, maka strategi pembiayaan SBI ke depan harus mempertimbangkan kontribusi dari masyarakat.
H. TUGAS DAN FUNGSI JAJARAN BIROKRASI DEPDIKNAS
Tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) merumuskan dan menetapkan kebijakan , (2) merumuskan standar, (3) membimbing melalui pemberian pedoman, pelatihan, dsb, (4) mengatur melelui penerbitan legislasi dan regulasi, dan (5) mengawasi pelaksanaan dan mengevaluasi SBI. Tugas dan fungsi ini secara teknis akan dilakukan oleh masing-masing Direktorat Pembinaan TK dan SD, SMP, SMA, dan SMK.
Tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Propinsi adalah melaksanakan kebijakan, Depdiknas melalui : (1) penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan, standar, legislasi dan regulasi, dan pedoman-pedoman yang disusun oleh Depdiknas, (2) pemberian bimbingan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan sekolah-sekolah khususnya SD dan SMP melalui pelatihan, lokakarya.
Secara umum tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota adalah memberikan pelayanan dalam penyelenggaraan SBI di Kabupaten/Kota masing-masing melalui : (1) penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan, standar, legislasi dan regulasi, dan pedoman-pedoman yang disusun oleh Depdiknas untuk SD dan SMP yang melaksanakan SBI, (2) pembinaan, pengurusan, dan pembimbingan SBI untuk SD dan SMP melalui pelatihan, lokakarya, diskusi kelompok terfokus dsb., (3) pemberian pelayanan terhadap SBI dalam mengelola seluruh aset atau sumber daya pendidikan yang meliputi guru, kepala sekolah, tenaga pendukung, sarana dan prasarana, buku pelajaran, dana pendidikan dsb., (4) pengkoordinasian dan penyerasian pelaksanaan SBI untuk Sd dan SMP, dan (5) pelaksanaan pengawasan dan evaluasi SBI serta pengembangannya di Kabupaten/Kota masing-masing.
KONSEP DAN KARAKTERISTIK ESENSIAL SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL
1. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional
Seperti dijelaskan dalam ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan ”Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional”
Dengan konsep ini, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Selanjutnya aspek-aspek SNP tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dengan demikian diharapkan SBI harus mampu memberikan jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi standarnya daripada SNP. Penjaminan ini dapat ditunjukkan kepada masyarakat nasional maupun internasional melalui berbagai strategi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sesuai dengan konsepsi SBI di atas, maka dalam upaya mempermudah sekolah dalam memahami dan menjabarkan secara operasional dalam penyelenggraan pendidikan yang mampu menjamin mutunya bertaraf internasional, maka dapat dirumuskan bahwa SBI pada dasarnya merupakan pelaksanaan dan pemenuhan delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja kunci minimal dan ditambah (dalam pengertian ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam) dengan x yang isinya merupakan penambahan atau pengayaan/pemdalaman/penguatan/perluasan dari delapan unsur pendidikan tersebut serta sistem lain sebagai indikator kinerja kunci tambahan yang berstandar internasional dari salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.
Hal ini sesuai juga dengan yang dijelaskan dalam kebijakan Depdiknas tersebut bahwa dalam kerangka pencapaian standar mutu internasional, maka tiap sekolah yang telah menjadi rintisan SBI atau SBI mandiri harus memenuhi indikator kinerja kunci minimal (delapan unsur SNP) dan indikator kinerja kunci tambahan (terdiri berbagai unsur ). Delapan unsur SNP tersebut adalah terdiri dari: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
Untuk dapat memenuhi karakteristik dari konsep SBI tersebut, yaitu sekolah telah melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai pencapaian indikator kinerja kunci minimal ditambah beberapa unsur sebagai indikator kinerja kunci tambahan, maka sekolah dapat melakukan minimal dengan dua cara, yaitu: (1) adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi, yaitu penambahan atau pengayaan/pemdalaman/penguatan/perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsur SNP dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Oleh karena itu bagi sekolah yang akan melakukan adaptasi ataupun adopsi, perlu mencari mitra internasional, misalnya sekolah-sekolah dari negara-negara anggota OECD yaitu: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore dan Hongkong yang mutunya telah diakui secara internasional. Atapun dapat juga bermitra dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional seperti misalnya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.
Esensi lainnya dari konsepsi tentang SBI adalah adanya daya saing pada forum internasional terhadap komponen-komponen pendidikan seperti output/outcomes pendidikan, proses penyelenggaraan dan pembelajaran, serta input SBI harus memiliki daya saing yang kuat/tinggi. Masing-masing komponen tersebut harus memiliki keunggulan yang diakui secara internasional, yaitu berkualitas internasional dan telah teruji dalam berbagai aspek sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Bukti bahwa telah diakui dan teruji secara internasional dengan sertifikasi minimal dengan berpredikat baik dari salah satu negara anggota OECD, negara maju lainnya atau lembaga internasional yang relevan. Beberapa ciri esensial dari SBI ditinjau dari komponen pendidikan yang berdaya saing tinggi yaitu:
1. Output/outcomes SBI dikatakan memiliki daya saing internasional antara lain bercirikan: (1) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga. Proses penyelenggaraan dan pembelajaran dikatakan memiliki daya saing internasional antara lain cirinya telah menerapkan berbagai model pembelajaran yang berstandar internasional, baik yang bersifat pembelajaran teori, eksperimen maupun praktek;
2. Proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan harus bercirikan internasional, yaitu: (1) pro-perubahan yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery; (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan; student centered; reflective learning; active learning; enjoyble dan joyful learning; cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model-model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan (6) dalam penyelenggaraannnya harus bercirikan utama kepada standar manajemen internasional yaitu mengimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.
3. Input SBI yang esensial bercirikan internasional antara lain: (a) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah satu negara anggota OECD dan atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (b) standar kelulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, sistem administrasi akademik berbasis TIK, dan muatan mata pelajaran sama dengan muatan mata pelajaran (yang sama) dari sekolah unggul diantara negara anggota OECD atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (c) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif, kepala sekolah minimal berpendidikan S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif, serta semua guru mampu menerapkan pembelajaran berbasis TIK; (d) tiap ruang kelas dilengkapi sarana dan prasarana pembelajaran berbasis TIK, perpustakaan dilengkapi sarana digital/berbasis TIK, dan memiliki ruang dan fasilitas multi media; dan (e) menerapkan berbagai model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kinerja kunci tambahan.
2. Karakteristik Esensial SBI pada Jenjang Pendidikan SMP
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sekolah yang telah bertaraf internasional harus memiliki keunggulan yang ditunjukkan oleh pengakuan internasional terhadap masukan, proses dan hasil-hasil pendidikan dalam berbagai aspek. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan sertifikasi berpredikat baik dari salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam lulusan SBI diharapkan, selain menguasai kompetensi dengan SNP di Indonesia, juga menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari lulusan negara-negara maju tersebut.
Untuk itu pengakraban peserta didik terhadap nilai-nilai progresif yang diunggulkan dalam era global perlu digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan SBI. Nilai-nilai progresif tersebut akan dapat mempersempit kesenjangan antara Indonesia dengan negara-negara maju, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknologi. Perkembangan ekonomi dan teknologi sangat tergantung pada penguasaan disiplin ilmu keras (hard science) dan disiplin ilmu lunak (soft science). Disiplin ilmu keras meliputi matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi, dan terapannya yaitu teknologi yang meliputi teknologi komunikasi, transportasi, manufaktur, konstruksi, bio, energi, dan bahan. Disiplin ilmu lunak (soft science) meliputi, misalnya, sosiologi, ekonomi, bahasa asing (Inggris, utamanya), dan etika global.
Apabila mengacu pada visi pendidikan nasional, maka karakteristik visi SBI adalah ”terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan secara intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati, dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Maka dari itu misi SBI adalah mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global. Misi ini direalisasikan melalui kebijakan, rencana, program, dan kegiatan SBI yang disusun secara cermat, tepat, futuristik, dan berbasis demand-driven. Penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus. Lulusan yang berkelas nasional secara jelas telah dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan dijabarkan dalam PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan dalam Permendiknas nomor 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), serta dalam ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”.
sumber Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama)
KISAH BURUNG PIPIT
Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.
Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi. Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.
Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lewat datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.
Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung.Seketika itu si Burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas-puasnya.
Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung.
Begitu bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.
Dari kisah ini, banyak pesan moral yang dapat dipakai sebagai pelajaran:
1. Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat kita.
2. Baik dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu-satunya ukuran.
3. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang bisa berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya.
4. Ketika kita baru saja mendapatkan kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak kebablasan.
5. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan.
-A Legend of a little sparrow-
sumber : manajemenqolbu.com. kiriman milis Al-Irsyad Surabaya
ABU HANIFAH YANG TAAT
Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat.
Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan karena cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya.
Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Ia bersyukur dapat bersama ibunya kembali.
"Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?" tanya Abu Hanifah.
"Alhamdulillah. .....ibu baik-baik saja," jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum.
Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya. Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah ia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulama besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya.
Suatu hari, ibunya bertanya tentang wajib dan sahnya shalat. Abu Hanifah lalu memberi jawaban. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar.
"Aku tak mau mendengar kata-katamu, " ucap ibu Hanifah. "Aku hanya percaya pada fatwa Zar'ah Al-Qas," katanya lagi.
Zar'ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah." Sekarang juga antarkan aku ke rumahnya,"pinta ibunya.
Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah mengantar ibunya ke rumah Zar'ah Al-Qas.
"Saudaraku Zar'ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya shalat," kata Abu Hanifah begitu tiba di rumah Zar'ah Al-Qas.
Zar'ah Al-Qas terheran-heran kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulama? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah.
"Tuan, Anda kan seorang ulama besar? kenapa Anda harus datang padaku?" tanya Zar'ah Al-Qas.
"Ibuku hanya mau mendengar fatwa dari anda," sahut Abu Hanifah.
Zar'ah tersenyum," baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda," kata Zar'ah Al-Qas akhirnya.
"Ucapkanlah fatwamu," kata Abu Hanifah tegas.
Lalu Zar'ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega.
"Aku percaya kalau kau yang mengatakannya, " kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal, sebetulnya fatwa dari Zar'ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah.
Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majelis Umar bin Zar. Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikuti perintah ibunya. Padahal, ia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.
Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifah datang ke majelisnya.
"Tuan, Andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?" kata Umar bin Zar.
Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya.
"Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar," kata Abu Hanifah.
Umar bin Zar termangu. Ia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya.
"Baiklah, kalau begitu apa jawaban atas pertanyaan ibu Anda?"
Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan.
"Sekarang, sampaikanlah jawaban itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwa anda,"ucap Umar bin Zar sambil tersenyum.
Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawabannya sendiri. Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar.
Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majelis-majelis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mau mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulama yang sangat pintar.
Sumber Kisah kisah teladan diambil ulang dari milis Mujiarto Karuk
10 Ciri Orang Berpikir & Bersikap Positif
Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti
tahu bahwa hidup kan lebih mudah dijalani bila kita selalu berpikir
positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang
'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya
kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai
mencoba meniru jalan pikirannya.
1. Melihat masalah sebagai tantangan
Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang
terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia.
2. Menikmati hidupnya
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar
hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih
baik.
3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide
Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala
sesuatu lebih baik.
4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak
Memelihara' pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa
tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.
5. Mensyukuri apa yang dimilikinya
Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya.
6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu,
mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi
si pemikir positif.
7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan
Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only), kan? Nah, mereka ini
jelas bukan penganutnya. NARO (No Action Review Only), NADO (No Action
Dream Only), NATO (No Action Talk Only), NACO (No Action Concept Only),
NABO (No Action Briefing Only), NAMO (No Action Meeting Olny), NASO (No
Acton Strategy Only)
8. Menggunakan bahasa positif
Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu
pasti akan terselesaikan, " dan "Dia memang berbakat."
9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif
Di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan
tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan
intonasi yang bersahabat, antusias, dan 'hidup'.
10. Peduli pada citra diri
Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga
di dalam.
Seandainya setiap warga Indonesia memiliki sikap2 tersebut. Tidak hanya
menuntut orang untuk memahaminya, tetapi berusaha memahami orang lain. Dan
dengan sikap positif kita, lebih menghargai perbedaan. Pasti akan lebih
indah...
sumber milis dari Satria Dharma
Subscribe to:
Posts (Atom)