GURU BUKAN BURUH

>> Thursday, 30 April 2009

He… he….apalagi lagi ni….begini pembaca, kita sering melihat dan mendengar ada guru, dengan tugasnya yang begitu berat tapi gajinya hanya 100 ribu perbulan, ada yang 200 ribu perbulan. Wooh…. nggak salah ta…benar pembaca. Ribuan dan bahkan ratusan ribu guru yang bernasib seperti itu, padahal tugas mereka itu adalah mengisi bermacam-macam software kepada anak didiknya, software agama, software prilaku, software pengetahuan, dan lainnya. Agar kelak dengan software itu anak didik tersebut tumbuh menjadi manusia-manusia yang beradab, berbudi dan berpengetahuan.



Terus apa kaitannya dengan buruh, begini pembaca…. hari ini nih…saya dengar dari berita di TV, bahwa tanggal sekarang ini diperingati sebagai hari buruh sedunia atau istilah may day. Saya ingin menyadarkan kepada semua pihak, kalau (mohon maaf) buruh saja yang memproduksi barang, yang mana kalau salah, masih bisa diperbaiki dengan cepat, misalnya sang buruh memproduksi kursi, setelah itu, diketahui hasilnya ada yang tidak sesuai dengan ukuran. So…..kesalahan itu bagi sang buruh, sangat mudah untuk diatasi, ia pun ambil meteran lagi, dan segera memperbaikinya. Selesailah pekerjaan itu dengan cepat. Mereka punya standart upah tertentu, yaitu UMR (Upah Minimum Regional), mempunyai undang-undang perburuan, mempunyai organisasi yang juga dilindungi undang-undang, segala permasalahan buruh ada lembaga arbitrase perburuhan, ada partai politik buruh, dan lainnya. Singkat kata kalau kita bisa bilang, jangan main-main dengan buruh.

Bandingkan dengan guru, guru mencetak siswa menjadi manusia yang berakhlaq, guru membimbing siswa agar menjadi manusia yang berpengetahuan, ia memberi contoh dengan tauladan, ia membimbing dan memperhatikan siswanya dengan penuh perhatian dan kesabarannya, ia berharap siswanya kelak lebih pandai, lebih kreatif, lebih sopan santun darinya. Ia juga sadar kalau ia salah dan keliru dalam membimbing, maka kesalahan itu akan dibawa dan dipraktekkan anak sampai besarnya. Misalnya guru salah dalam mengajar siswa dalam praktek shalat, maka ilmu itu akan dibawa anak sampai dewasanya. Bahkan pernah ada seorang cucu yang bertanya pada kakeknya tentang cara membaca al-fatihah. Ia bilang. “kok seperti itu sih kek, alfatihahnya”. Sang kakek pun menjawab.” Ya seperti itu guru kakek dulu mengajari kakek”. Nah percaya kan. Kalau guru keliru atau salah dalam pengasuhan atau pembimbingan, maka untuk merubahnya itu sa…ngat sulit, bisa si..h tapi butuh waktu lama.

Anehnya dengan pekerjaan seperti itu guru tidak punya standar minimal upah atau UMR seperti para buruh, Undang-undang tentang guru itupun baru tahun 2005, itupun baru rancangan dan belum ada landasan operasionalnya saat itu, partai tentang guru tidak ada, lembaga arbitrase guru juga tidak ada. Para guru hanya mengandalkan belas kasihan para penguasa. Kalau penguasa perhatian sama pendidikan dan guru ya Alhamdulillah, kalau tidak ya inna lillah gitu saja. Istilahnya guru Indonesia itu semuanya ikhlas, ada ya…. di terima, gaji naik ya….. disyukuri, kurang ya…… bersyabar. Saya sering diingatkan ayah saya almarhum, ayah saya yang guru , dengan penghasilan yang kecil itu, ia bilang. “ jangan dilihat uangnya, tapi nilai barakahnya itu lho, ia pun meneruskan mana ada sih anak guru (yang ikhlas dalam mengajar, dan bersyukur atas semua nikmat) tidak makan, mati kelaparan, bodoh, terbelakang dan seterusnya”. Saya pun berfikir, betul juga ya, kalau saya melihat teman-teman saya yang ayahnya dulu guru, sekarang mereka hadir ke dunia ini dengan menebar kemanfaatan, mereka banyak yang berhasil dalam hidup ini dan berbahagia dengan keuarganya.

Di akhir tulisan ini , akhirnya saya bisa menyimpulkan. Memang guru tidak sama dengan buruh, ada sebuah something of miracle (keajaiban) yang diberikan oleh Allah, ingatlah firman Allah, bahwa Dia akan mengangkat derajat orang –orang yang berilmu pengetahuan. Mungkin ini sebab keajaibannya, bahwa guru tergolong sebagai orang berpengetahuan, sehingga pantaslah ia dinaikkan derajat kehidupannya, derajat anak-anaknya, dan derajat murid-muridnya. Sehingga mari kita kerjakan tugas kita sebagai guru ini dengan professional dan tanggung-jawab, insya Alllah gusti Allah mboten sare….(Allah tidak tidur kok). Cukup ya tulisan saya ini. Bagaimana pendapat anda?


Read more...

TRIK MENGETAHUI PELATIHAN YANG ABAL-ABAL

>> Wednesday, 29 April 2009

Pembaca yang budiman.Saya baru tahu kata abal-abal dari TV One. Ketika TV One memberitakan tentang pabrik jamu abal-abal pada hari Rabu,29 April 2009 dalam acara telusur, ternyata abal-abal itu sama artinya dengan palsu, bohong-bohongan dan seterusnya. Nah, sekarang kita kembali ke topik awal ah....yaitu trik mengetahui Pelatihan abal-abal. Apa ada ? ada-ada...saja.. ya dunia ini.


Pembaca yang setia, sama dengan pribahasa "ada gula ada semut" artinya aji mumpung, era sekarang di dunia pendidikan ini kan, semua guru di Indonesia ini pada lomba mencari sertifikat pelatihan sebanyak mungkin, nah itu kedengaran para panitia abal-abal...ee.... panitia pelatihan abal-abal itu tu....singkat cerita, mereka menangkap peluang ini, dan selanjutnya mengadakan pelatihan guru seadanya.

Seadanya bagaimana? ya... topik seadanya, isi pelatihan ya seadanya...tokoh yang diundang juga seadanya. yang penting mereka mendapat untung sebanyak-banyaknya dengan cara mengundang guru sebanyak-banyaknya dengan iming-iming sertifikat tingkat regional, tingkat nasional, bahkan tingkat internasional. woooh hebat ya...tingkat internasional, meskipun tokoh internasional itu tidak paham banget tentang pendidikan, pokoknya yang penting bule...bule...bule...meskipun bule tersebut sebenarnya bukan pakar pendidikan, yang paling penting dari luar negeri.

Langsung aja ah..jangan terlalu banyak pak redaktur ceritanya. ntar ndak sabar bagaimana trik selanjutnya... OK

Trik mengetahui sebuah pelatihan/seminar/workshop itu abal-abal adalah

1. Lihat dulu siapa panitianya
Sudah berpengalaman mengadakan pelatihankah? atau masih yunior dan tidak jelas siapa mereka. Contoh : kalau di jakarta itu ada nama PRO VISI, di surabaya ada nama ISI NETWORK. KPI. Klub Guru dll

2. Lihat topik dan materinya.

Melihat topik dan materi sebuah pelatihan adalah sebuah keharusan, so, lihat topik dan materi yang dibahas, kalau topik dan materinya asal-asalan, hati-hati lah.

3. Lihat Pembicara atau speakernya
Lihat kapasitas dan keahlian pembicara tersebut, bertanyalah kepada siapa yang anda kenal, tentang kapasitas dari pembicara tersebut. anda juga bisa lihat dari paman google atau pakde yahoo.

OK. ya pembaca. sampai disini dulu,insya allah kita sambung lagi di lain hari. yang paling penting. Hati-hatilah dalam mengikuti pelatihan, daripada rugi, sudah mendaftar namun kenyataannya tidak sesuai isinya. Bagaimana pendapat anda?


Read more...

4 Kelompok Guru Dalam Mengikuti Pelatihan

>> Sunday, 26 April 2009

Seringkali kita mendengar sertivikasi guru, dimana salah satu syarat dalam sertivikasi itu adalah berapa sertivikat pelatihan yang dimiliki guru, hal itu menandakan bahwa guru tersebut aktif dalam mengupgrade dirinya demi siswanya. Namun sayang seribu sayang, kehadiran guru dalam mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut,tidak diiringi dengan jiwa dan perasaan yang ikhlas, bahkan sikap siap menerima ilmu dan wawasan baru itu. Nah selanjutnya, mari kita simak pengamatan saya yang sudah 3 kali menjadi ketua panitia pelatihan guru. Yang pertama, di bulan Desember 2008 bertempat di DEPAG JATIM "THE ART OF TEACHING", kedua, di bulan Maret 2009 bertempat di Kebun Kota Resto "CLASSROOM STRATEGIES", ketiga baru kemarin Ahad, tanggal 26 April 2009. "PARENTING EDUCATION" dengan tema menjadi orang tua dan guru motivator. Bagaimana pengamatan saya. berikut di bawah ini :

4 (Empat) Kelompok Guru dalam mengikuti Pelatihan :

Pertama, GURU BODOH , tidak datang ke pelatihan tapi minta sertivikat. Ciri-cirinya: (1) mereka daftar dan membayar biaya ke panitia di pagi harinya, (2) pada saat pelatihan tidak datang, menjelang 30 menit pelatihan berakhir, dia datang dengan macam-macam alasan dan minta sertivikat. amit-amit...

Kedua, GURU CURANG, niat datang ke pelatihan hanya SEKEDAR CARI SERTIVIKAT.Ciri-cirinya:(1)datang terlambat, dan pulang duluan dengan berbagai alasan (2)ijin keluar sebentar dengan setumpuk alasan, mau selesai kembali lagi.

Ketiga, GURU YANG RUGI, niat tidak tulus dan tidak jelas saat mengikuti pelatihan, dia terpaksa datang karena dipaksa oleh kepala sekolahnya, ia mau datang karena biaya pelatihan telah dibayar oleh sekolahnya, dan yang terakhir, ia juga butuh sertivikat, tapi kok...lama ya. ciri-cirinya: (1) datang terlambat,(2) tidak semangat ketika mengikutinya, (3) loyo, mata melihat, pikiran melayang, (4) keluar-masuk ruangan, (5) sering-sering lihat jam dan lainnya.

Keempat. GURU YANG PROFESIONAL, niatnya hanya mencari tambahan ilmu dan wawasan, ia sadar bagaikan sebuah kendi, yang isinya dikeluarkan terus setiap hari, maka isinya akan habis, begitu juga dirinya, kalau ilmunya disampaikan terus ke anak didiknya, maka lama kelamaan juga akan habis, sehingga ia sadar, bahwa tugasnya selain mengajar juga harus belajar. mengenai sertivikat itu hanya efek dan akibat. yang sudah sepantasnya ia terima. Ciri-cirinya :(1) datang tepat waktu, (2) antusias dan semangat, dan (3) aktif dalam pembelajaran di saat pelatihan tersebut.

Bagaimana pendapat anda? terima kasih

Read more...

TIPS MEMBERI PERTANYAAN PADA SISWA

>> Saturday, 25 April 2009

Hari ini, saya membaca tulisan yang bagus tentang bagaimana trik dalam memberi pertanyaan siswa, yang saya pikir tulisan ini sangat bermanfaat bagi para guru agar lebih di senangi dan dihormasti para siswa.

Dalam proses belajar mengajar aspek bertanya dan memberikan informasi kepada siswa bagaikan sebuah mata rantai yang tidak terpisahkan. Apa jadinya jika sebuah interaksi pembelajaran hanya diisi oleh ceramah dan alih informasi saja. Hal yang terjadi siswa akan bosan dan interaksi yang terjadi hanya satu arah.



Sebagai guru kita boleh bertanya pada siswa kapan saja. Ada semacam hak otonomi kita untuk tidak merancang kapan kita harus bertanya. Singkat kata ’seingatnya’ dan ’sesukanya’ kita boleh bertanya pada siswa sepanjang masih berhubungan dengan pembelajaran yang kita lakukan. Tanpa bermaksud mengurangi hak otonomi anda, silahkan cermati tips kapan bertanya pada siswa di bawah ini. Mudah-mudahan pertanyaan anda kepada siswa membawa manfaat dan menjadi tepat sasaran dan yang penting membantu proses belajar mengajar yang anda lakukan: (1)Sesering mungkin tetapi dengan perencanaan. Berikan pertanyaan hanya untuk membuat siswa semakin tertarik dengan topic yang anda bawakan. (2)Ciptakan pertanyaan-pertanyaan spesifik pada saat yang berbeda saat membelajarkan siswa- diawal, selama pembelajaran berlangsung, atau diakhir. (3)Fokuskan pertanyaan untuk membuat anak mau mempertanyakan mengenai proses yang sedang mereka lakukan.
(3) Jangan berikan siswa pertanyaan sama sekali, jika malah membuat anak jadi mundur semangatnya untuk menekuni hal yang menurut mereka menarik.

Sumber :Agus Sampurno.gurukreatif.wordpress.com

Read more...

PENGARUH SERTIVIKASI TERHADAP KINERJA GURU

>> Monday, 20 April 2009

Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti (http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY=, diakses 7 Desember 2008). Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Salah satu unsur utama dalam penentuan komposit Indeks Pengembangan Manusia ialah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah.


Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.

Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula.

HAKEKAT SARTIFIKASI

Ada yang berpendapat bahwa sejatinya sertifikasi adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan yang lebih berani mengatakan bahwa sertifikasi adalah akal-akalan pemerintah untuk menaikkan gaji guru. Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan kecemburuan profesi lain.

Pemahaman seperti itu tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.

Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahterann guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di samping itu, menurut Samami dkk. (2006:3), yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.



IMPLEMENTASI SERTIFIKASI

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari uji kompetensi. Uji kompetensi dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profeisonal guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan.

Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional.

Apa yang menjadi keprihatinan banyak pihak ini dapat dimaklumi. Hal ini dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari penilaian terhadap tumpukan kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat tumpukan kertas itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya tidak mencapai batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru tersebut dapat mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Dan pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di kelas.

Hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional terasa akan menjadi kenyataan bila dibandingkan dengan pelaksanaan sertifikasi di beberapa negara maju, khusunya dalam bidang pendidikan. Hasil studi Educational Testing Srvice (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profsesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34).

Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar.Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.



Keterpurukan mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional memang amat memprihatinkan. Akan tetapi, keprihatinan ini jangan sampai membuat kita putus harapan. Keterpurukan ini hendaknya membuat kita sungguh-sungguh terdorong mencari jalan yang tepat, bukan dengan cara-cara instan dan mengutamakan kepentingan pribadi.

Salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi mutu pendidikan yang rendah ini adalah dengan meningkatkan kualitas gurunya melalui sertifkasi guru. Pemerintah berharap, dengan disertifikasinya guru, kinerjanya akan meningkat sehingga prestasi siswa meningkat pula. Namun dalam pelaksanaannya, sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio memberi banyak peluang pada guru untuk menempuh jalan pintas. Hal ini disebabkan profesionalisme guru diukur dari tumpukan kertas. Indikator inilah yang kemudian memunculkan hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam wujud penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap kinerja guru, apalagi terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.

Di samping itu, berkaca pada pelaksanaan sertifikasi negara-negara maju, terutama dalam bidang pendidikan, peningkatkan mutu pendidikan hanya dapat dicapai dengan pola-pola dan proses yang tepat. Pola-pola instan hanya akan menghambur-hamburkan dana dan waktu menjadi terbuang percuma. Sedangkan apa yang menjadi substansi sama sekali tidak tersentuh.

Sertifikasi tidak akan berdampak sama sekali terhadap kinerja guru, memang baru sebuah hipotesis. Hipotesis ini memang harus dibuktikan melalui sebuah penelitian. Akan tetapi, tidak ada salahnya bila kita mengatakan sertifikasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan-atau bahkan tidak memiliki pengaruh sama sekali-terhadap kinerja guru berdasarkan indikator-indikator yang tampak di depan mata. Sayangnya sampai saat ini-berdasarkan pantauan di mesin pencari www.google.com-belum ada yang melakukan penelitian pengaruh sertifikasi terhadap kinerja guru secara nasional. Semoga di masa mendatang ada yang meneliti masalah tersebut demi peningkatan mutu pendidikan nasional.

SUMBER :www.dispendikkabprob.org

Read more...

Analisis Tentang Kebijakan Pendidikan

Secara alamiah dalam setiap pengambilan kebijakan oleh para penentu kebijakan pada dasarnya didahului dengan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai kondisi yang ada sehingga diperoleh bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai landasan dalam menetapkan kebijakan. Upaya untuk memahami kondisi yang ada dalam segala aspeknya dengan memanfaatkan segala data dan informasi terkait, menggunakan pendekatan ilmiah sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan untuk menentukan kebijakan disebut penelitian atau analisis kebijakan ( Balitbangdikbud, 2002)


Dalam kaitan ini, Dunn (2001) mendifinisikan analisis kebijakan sebagai ” the process of producing knowledge of and in policy process” ( aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan), sedangkan menurut Muhadjir (2000) analisis kebijakan adalah sebuah telaah kritis terhadap isu kebijakan tertentu, dilakukan oleh analisis dan para pihak yang dipengaruhi kebijakan dengan menggunakan ragam pendekatan dan metoda untuk menghasilkan nasehat atau rekomendasi kebijakan guna mencari solusi yang tepat atas berbagai masalah kebijakan yang relevan.

Bila analisis kebijakan dikaitkan dengan pendidikan, maka analisis kebijakan pendidikan adalah suatu prosedur ilmiah untuk menelaah dan merumuskan seluruh isu-isu dan permasalahan pendidikan berdasarkan analisa yang tajam dan metode berfikir yang kritis yang selanjutnya menghasilkan sebuah pemikiran atau rumusan yang berguna bagi kebijakan pendidikan.

Ada dua jenis pendekatan dalam menganalisis kebijakan, yaitu : (1) pendekatan empirik ( empirical approach) dan (2) pendekatan evaluatif. Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan sebab dan akibat dari suatu kebijakan tertentu yang bersifat aktual dan fakta dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif. Sedang pendekatan evaluatif dimaksudkan untuk menerangkan keadaan dengan menggunakan/menerapkan suatu kreteria atau ukuran tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya. ( Suryadi dan Tilar, 1996)

Sedangkan model evaluasi kebijakan terdiri dari dua yaitu evaluasi proses, dan evaluasi dampak. Evaluasi proses yaitu sampai dimana kebijakan telah dilaksanakan oleh pihak yang terkait dengan kebijakan terebut dan sudah sesuaikah dengan garis-garis yang telah ditetapkan. Sedang evaluasi dampak ialah seberapa besar kebijakan ini telah menyebabkan perubahan pada tujuan yang harus dicapai.(Balitbangdikbud. 2002)


Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP