SALING SEROBOT DALAM MENGIKUTI SERTIFIKASI

>> Sunday, 24 May 2009


Oleh Mudzakkir Hafidh


Waoh ke…ren….judulnya itu lho broo. Pembaca yang budiman , penulis sengaja ingin membahas masalah ini, ee ..e..sorry bukan masalah mungkin hanya kesenjangan saja, perbedaan penafsiran, atau karena keserakahan atau juga kecerdasan dalam memanfaatkan peluang yang terjadi akhir-akhir ini diantara para guru baik guru negeri maupun swasta tentang persyaratan mengikuti sertifikasi.



Menurut UU. No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dalam bab IV, pasal 8 dinyatakan, bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, selanjutnya dalam pasal 11 (ayat 1) dinyatakan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang memenuhi persyaratan tertentu.
Dari sinilah munculnya perbedaan penafsiran itu, edaran setiap daerah berbeda dalam menetapkan syarat mengikuti sertifikasi ini, yang sepakat adalah bahwa untuk mengikuti sertifikasi, maka guru yang bersangkutan harus sudah sarjana D-4 atau S-1, sedang syarat mengenai lama mengajar tidak dijelaskan atau ditetapkan secara nasional. Maka yang terjadi adalah saling serobot untuk mengikuti program itu, apalagi ada iming-iming dari pemerintah,”siapa saja guru yang memperoleh sertifikat pendidik maka ia berhak mendapat tunjangan profesi yaitu sebesar satu bulan gaji pokok sesuai golongan guru yang bersangkutan (pasal 16 UU. No 14 tahun 2005)
Waoooh…ngiler aku.. siapa yang tidak pingin mendapat double gaji, saya yakin semua menginginkan. Akhirnya yang terjadi adalah saling serobot, yang tua mengatakan, “saya lebih berhak karena saya sudah 25 tahun, yang satu mengatakan sudah 20 tahun, yang lain mengatakan sudah 15 tahun menjadi guru”. Guru muda tidak mau kalah, mereka mengatakan “saya juga berhak, karena saya juga guru, peraturannya tidak menjelaskan sedetil itu, pokoknya siapa saja yang siap silahkan ikut katanya lagi, tidak peduli baru 2 tahun atau 5 tahun” belum lagi ada perlombaan antar sekolah dan antar guru, sekolah mana yang kreatif dan lincah, maka sekolah tersebut akan mendapat jatah peserta sertifikasi banyak, begitu juga guru yang kreatif, ulet, cepat dan tanggap, maka ia pasti akan mendapat jatah sertifikasi duluan.

Wah….wah….ini kan dunia pendidikan, dalam dunia pendidikan harusnya nilai-nilai moral terus dikembangkan, nilai-nilai kemanusian terus dijunjung, rasa keadilan, rasa kejujuran, saling menghormati kepada yang lebih tua, saling mengasihi kepada yang muda, saling membantu dan saling memberitahu, bukannya saling serobot, yang muda tidak mengalah, padahal beliau-beliau para guru itu sudah 20 tahun, 25 tahun, 15 tahun, mengapa kita tidak membantu beliau-beliau yang sudah tua itu, mengapa yang mengetahui informasi tidak memberi tahu kepada mereka yang tidak tahu, baik karena tempatnya jauh atau terpencil, mengapa kita tidak menunggu saja giliran dari pejabat pengatur yaitu diknas setempat. Kalau kita ragu dengan cara pengaturan dari diknas, mengapa kita tidak menjadi pengawas bersama saja. Mengapa harus saling serobot dan saling mendahului, karena gara-gara menginginkan uang tunjangan 1 bulan itu.

Wahai saudaraku, guru-guru Indonesia. Jangan gara-gara tunjangan profesi kita menjadi orang yang tega memakan daging saudara sendiri, marilah kita ikuti aturan, baik aturan yang ditetapkan oleh pemerintah atau aturan yang tidak tertulis yaitu menghormati yang lebih lama dan tua , yang sudah puluhan tahun menjadi guru, baik PNS, guru honorer maupun swasta. Selanjutnya tunggulah giliran anda sesuai masa kerja anda. Penulis sarankan kepada pemerintah untuk mengatur peserta sertifikasii misalnya tahun 2009 diperuntukkan bagi guru yang mempunyai masa kerja 10 tahun, tahun 2010 bagi guru yang mempunyai masa kerja 9 tahun, begitu seterusnya sampai pada guru yang mempunyai masa kerja 1 tahun, adilkan? He..he…dan selanjutnya peraturan seperti itu ditetapkan dan diputuskan oleh kepala daerah (bupati atau gubernur) diedarkan ke semua sekolah.

Wahai para pahlawan bangsa, janganlah kita bersemangat saling berlomba hanya karena uang saja, marilah terus bersemangat dalam keadaan apapun, uang dan tunjangan hanya effect belaka. Yang paling penting niat pengabdian kita kepada bangsa dan negara. Bagaimana pendapat anda?
Salam hormat
Mudzakkir H.


Read more...

PENDIDIKAN, SOLUSI BAGI PERMASALAHAN BANGSA

>> Friday, 22 May 2009



Oleh Mudzakkir Hafidh

Salam sukses wahai pembaca blog pendidikan (www.mutupendidikanindonesai.blogspot.com), hari Rabu, tanggal 20 Mei 2009 merupakan hari yang sangat istimewa, karena bangsa Indonesia merayakan hari kebangkitan nasional. Pertanyaan besar bagi kita semua. Sudahkan bangsa ini bangkit untuk menuju kejayaannya? Kalau sudah, pertanyaan selanjutnya apa bukti kalau bangsa ini sudah bangkit untuk menjadikan seluruh warganya aman, sentosa, tentram, damai, berpendidikan, mempunyai kecakapan dan kompetensi untuk siap berkompitisi dalam dunia global?


He..heeee….hee… pertanyaan yang sulit, dikatakan tidak bangkit, buktinya anggaran pendidikan naik, gaji PNS dan buruh naik, perhatian pemerintah pada rakyat juga semakin baik, ada subsidi pupuk, bantuan langsung tunai, adanya kredit mikro dan lain-lain, pembangunan akses jalan dan distribusi juga meningkat, keseriusan pemerintah dibidang hukum semakin baik, banyak para koruptor baik pejabat atau non pejabat ditangkap. Namun disisi yang lain, jumlah kemiskinan masih banyak, meski menurut pemerintah melalui Badan Statistik Nasional katanya turun, namun menurut LSM dan para tokoh ekonomi kerakyatan katanya tidak ada kenaikan signifikan, waaah yang mana yang betul nich he..hee….. Gedung sekolah juga sering diberitakan masih banyak yang kondisinya mau ambruk, padahal anggaran pemerintah dibidang pendidikan meningkat. Kecurangan guru saat UNAS atau saat mengikuti sertifikasi juga masih terjadi, korupsi juga masih merajalela. Perpecahan tokoh nasional juga sering kita dengar dan lain-lainnya.

Wah…wah…. dikatakan bangkit bisa karena ada bukti seperti di atas, dikatakan belum bangkit juga bisa karena kondisi bangsa juga masih seperti sekarang. Koruptor ditindak, namun pelaku korupsi yang baru bermunculan. Hukum diperketat, namun pelanggar hukum semakin banyak. Kualitas pendidikan berusaha ditingkatkan, namun oknum-oknum guru atau pelaku pendidikan yang berbuat curang masih banyak. Mana buktinya, portofolio sertifikasi dipalsu, kecurangan UNAS masih terjadi, guru bolos mengajar masih banyak, penyalahgunaan keuangan sering kita dengar, dan lainnya. Kesatuan para tokoh bangsa dalam membangun bangsa dalam bingkai saling membantu dan saling menasehati juga belum terjadi, satu sama lainnya saling sodok dan saling hantam demi jabatan semata. ..aduh dak cukup deh kalau diteruskan…masih banyak lagi bukti-bukti belum bangkitnya I’tikat atau kesadaran pemerintah untuk lebih serius lagi membangun bangsa.

Adakah obat yang mujarab mengatasi itu semua? Satu hal yang harus dibenahi adalah kualitas pendidikan. Dengan pendidikan yang berkualitas maka SDM bangsa semakin meningkat. Dikatakan pendidikan berkualitas jika nilai-nilai pendidikan yang diajarkan dilandasi oleh nilai-nilai spiritual, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai kejujuran. Pendidikan berkualitas juga mempunyai standar penyelenggaraan dan Standar Operating Procedure yang jelas, meliputi : target dan kompetensi yang ingin dicapai, standar pembelajaran, standar pengajar, standar penilaian, standar fasilitas dan prasarana, dan lainnya.

Sekali lagi, marilah kita bangkit membangun bangsa ini agar bangsa ini maju dan jaya menjadi negara yang aman, sentosa, baldatun toyyibatun warobbun ghofuur dengan cara mengajar, membimbing, dan mendidik anak didik kita dengan sabar, profesional dan mengutamakan kualitas, jangan asal mengajar, tapi jadilah guru yang bisa menjadi panutan, senantiasa memberi motivasi kepada seluruh murid-muridnya, membimbing dengan penuh kesabaran , senantiasa memberi inspirasi dan dukungan terhadap keberhasilan para muridnya. Dengan kata menurut Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia , beliau berkata: “ ing ngarso sung tulodho , ing madyo mbangun karso, dan tut wuri handayani. Bagaimana menurut pendapat anda?




Read more...

UNJUK RASA GURU, PANTASKAH?

>> Thursday, 21 May 2009


Oleh Mudzakkir Hafidh

We…..we…..we….topik yang heboh, met ketemu lagi nich….hai pembaca blog pendidikan yang budiman, penulis doakan semoga para pembaca betul-betul menjadi orang yang budiman ya….berbudi dan beriman, amin.


Kali ini, saya akan menulis tentang unek-unek yang sudah lama terpendam, ceritanya begini, hari Kamis 7 Mei 2009, saya sengaja melihat berita sore di salah satu TV swasta, tiba-tiba ada 2 berita yang isi dan kontennya sama, tapi beda pelakunya, yaitu berita unjuk rasa yang pertama di bandung dan yang kedua di Goa Sulawesi selatan, bedanya yang pertama pelakunya adalah para buruh di sebuah pabrik tekstil dan yang kedua adalah para guru negeri. Dari segi tuntutan atau konten dari unjuk rasa itu adalah sama, sama-sama menuntut perbaikan kesyejahteraan, yaitu minta kenaikan gaji, karena gaji yang mereka terima selama ini tidak cukup untuk membiayai keperluan hidup mereka, dari segi waktu pelaksanaan sama, dua-duanya di saat jam kerja, para buruh meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan unjuk rasa ini, sedang para guru meninggalkan sekolah di saat jam mengajar untuk berdemo di depan kantor bupati Goa.

Kebebasan Bersuara

Dari segi pemenuhan hak untuk bersuara atau menyampaikan pendapat oleh setiap warga negara memang tidak salah alias betul, hal itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. meskipun ada aturan-aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang harus diperhatikan. Selanjutnya kalau kita berfikir jernih, mereka juga tidak salah, bagaimana mungkin mereka sudah bekerja keras, namun atasan atau pemilik perusahaan tidak menghargai kerja keras mereka, jadi ya….wajar lah mereka bersuara menyampaikan aspirasinya. Apalagi gaji mereka tidak sesuai aturan, para buruh di Bandung tadi memang gaji yang mereka terima tidak sesuai dengan upah minimum regional di sana, sedang para guru PNS di goa, menuntut segera digaji sesuai dengan standar gaji guru PNS sesuai aturan terbaru yaitu naik 15 % mulai bulan Januari 2009.

Mana yang salah, pantaskan, mereka menuntut hak mereka. Apalagi kebebasan bersuara, kebebasan menyampaikan aspirasi di lindungi oleh undang-undang. Namun bagaimanapun perlu dipikirkan caranya, bagaimana cara yang cerdas dan cantik untuk melaksanakan kebebasan bersuara itu. Cara guru menyampaikan pendapat harus berbeda dengan buruh, apalagi dalam berita tersebut disampaikan para guru di goa yang unjuk rasa itu, sampai-sampai meninggalkan tugas utama mereka yaitu mengajar, mereka meninggalkan para siswa yang seharusnya mereka bimbing, karena satu alasan yaitu pemenuhan peningkatan kesyejahteraan dirinya.

Guru adalah Tauladan

Wah…wah…wah…kalau gurunya saja suka berdemo di jalan, kadang di selingi dengan bentrok dengan petugas keamanan, mengganggu jalan raya, terus bagaimana muridnya kelak, apalagi mereka meninggalkan tugas utama mereka yaitu mengajar. Walah..dalah…kok ngenes ya….pak guru…bu guru…ngono yo ngono…tapi ojo ngono.....ingatlah guru itu digugu dan ditiru, menjadi tauladan bagi muridnya. Kadang seringkali kita diwaduli/disambati orang tua, kalau anaknya itu lebih suka menuruti perintah guru dari orang tua, mereka bilang, “kalau saya yang beritahu pak, anak saya itu tidak langsung percaya, tapi herannya jika yang memberitahu atau memerintah itu gurunya, anak saya langsung mengerjakannya”. Kalimat seperti itu seringkan kita dengar dari orang tua. Nah karena itu, mari kita instrospeksi diri, pantaskah kita turun ke jalan untuk berdemo, sambil teriak-teriak berorasi di jalan yang rame itu, Sadarkah tempat orasi kita itu di depan kelas bukan di jalan raya. Pernahkah kita berfikir kalau seringnya para pelajar dan mahasiswa berunjuk rasa di sekolah dan kampus mereka, sambil sedikit-sedikit bakar ban, lempar kaca, dan berbuat onar itu sesungguhnya meniru dan meneladani kita. Mereka bilang, “Guru saja berdemo apalagi muridnya” ingat nggeh…sama pepatah…guru kencing berdiri murid kencing berlari.

Mari kita kembangkan jalan musyawwarah dan diskusi terhadap setiap permasalahan. Allah berfirman “dan terhadap masalah-masalahmu maka bermusyawwarahlah” insya allah dengan bermusyawwarah yang dilandasi dengan rasa kekeluargaan dan semangat persatuan, maka akan ditemukan jalan keluarnya. Jangan sedikit sedikit berdemo, justru jika para guru berdemo dan berunjuk rasa di jalan, hal itu akan merendahkan martabat dan harga diri guru, harga diri korp guru, dan harga diri bangsa, Ingatlah bahwa guru adalah golongan orang yang terdidik dan tugasnya adalah mendidik siswa dan memberi tauladan siswa, maka mari kita gunakan hak bersuara kita dengan cara-cara yang mendidik dan cara-cara yang bijaksana, jangan justru sebaliknya. SUKSES GURU…., SUKSES SISWA….MAJULAH BANGSA. Bagaimana pendapat anda?





Read more...

MENGARTIKAN KEPANDAIAN ANAK DENGAN BENAR

>> Monday, 18 May 2009



Oleh Mudzakkir Hafidh

Hee….hee….hee….selamat dan sukses ya.., anda telah bergabung dalam blog pendidikan, semoga blog ini sedikit membawa pencerahan bagi kita semua, terutama dalam memandang permasalahan pendidikan di Indonesia. Kali ini saya ingin membahas tentang cara pandang masyarakat tentang difinisi anak atau siswa yang pandai. Beberapa guru ketika berbincang di kantor selepas mengajar membicarakan siswa tertentu, misalnya Andi itu anak pandai karena setiap ulangan nilainya hampir sempurna, rata-rata nilainya 95, lain lagi dengan Nia dan Mita, Nia anak yang pandai karena nilai matematika dan bahasa inggrisnya dalam setiap ulangan pasti sempurna yaitu 100, diapun selalu rengking I di kelasnya, Sedang Mita juga tergolong anak pandai karena ia sering menjadi juara dalam lomba-lomba mata pelajaran,


Para orang tua juga begitu, mereka memuji anak sendiri atau anak orang lain karena anak tersebut nilainya senantiasa bagus dan sering mendapat penghargaan atau hadiah karena prestasinya tersebut. Bahkan banyak orang tua menyalahkan dan memarahi anaknya gara-gara ia mendapat nilai jelek. Singkat kata, para guru, orang tua serta masyarakat sering mengukur kepandaian seorang anak dari hasil belajar yang berupa nilai-nilai atau angka-angka dari setiap pelajaran yang dipelajari. Pertanyaannya, apa itu salah?

Perbaikan Cara Memandang

Pembaca yang budiman, cara pandang seperti kasus di atas memang tidak salah, tapi kurang sempurna, yaitu kurang utuh dalam memandang seluruh potensi kecerdasan seorang anak, anak hanya dipandang dari satu sisi yaitu sisi intelektual atau sisi kognitifnya saja, tanpa melihat sisi kemampuan sikapnya (afektif) dan kemampuan keterampilannya (psikomotor).

Karena cara pandang seperti itu, banyak guru dan orang tua lebih memperhatikan kemampuan pemahaman siswa (kognitif) dari kemampuan-kemampuan yang lain. Segala daya upaya guru dan orang tua hanya bermuara pada pencapaian nilai atau angka tinggi dalam setiap ulangan, mereka kurang memperhatikan bagaimana sikap anak tersebut, sopan santun, perilaku, ucapan dan tindak-tanduk pada orang tua, guru, sesama temannya, dan pada orang lain. Begitu juga keterampilan siswa juga kurang diperhatikan, yang meliputi keterampilan beribadah (Spritual Skill), keterampilan berbicara dan berkomunikasi (Communication Skill), keterampilan mengadakan penelitian ( Mini Research Skill), keterampilan bersosialisasi dan bermasyarakat (Social Skill), keterampilan memecahkan masalah (Solve and Problem Skill) serta keterampilan menggunakan peralatan teknologi tertentu, misalnya penguasaan internet, keterampilan menggunakan computer dan lainnya.

Yang lebih parah lagi, pemerintah juga mendukung cara pandang yang salah tersebut, buktinya, dalam ujian nasional tidak ada materi uji sikap dan uji keterampilan. Pemerintah berdalih, hal itu sudah menjadi kewajiban sekolah, karena yang menentukan kelulusan seorang siswa seyogyanya menurut standar evaluasi pendidikan nasional adalah sekolah, bukan pemerintah, pemerintah hanya membuatkan standar kelulusan siswa saja. yang didalamnya ada penilaian sikap dan keterampilan. Meskipun pemerintah berdalih seperti itu, tapi kenyataannya, siswa dikatakan lulus atau tidak ya tergantung pada hasil unasnya saja. bagaimana ini ya?

Bukti yang kedua, pada setiap tes penerimaan pegawai negeri di departemen manapun termasuk di Departemen Pendidikan dan di Departemen Agama, materi yang diujikan ya seputar tes kognitif, misalnya tes potensi akademik, tes bakat dan minat, tes materi substansial dan lainnya. Tidak ada tes uji sikap atau uji keterampilan, maka tidak heran ketika di terima, beberapa dari mereka melakukan tindakan yang kurang sopan, ibadahnya juga kurang, bahkan yang lebih parah, mereka ada yang tidak bisa mengetik di computer, internet apalagi. Wah…wah… bagaimana penyelenggaraan negara bisa bagus, kalau SDM yang terpilih seperti itu.

Oleh karena itu mari kita rubah cara pandang kita terhadap seorang anak atau siswa, anak dikatakan pinter, cerdas, pandai bukan hanya dari segi kognitif saja yang bagus, namun dari segi afektif (sikap) dan keterampilan ( skill) juga harus bagus. Bahkan dalam komunitas perusahaan besar di dunia sekarang berubah dalam memandang kapasitas dan kepandaian seseorang, menurut mereka, justru orang yang pandai dan mendapat kesempatan untuk memimpin perusahaan peringkat pertama adalah orang yang mempunyai kemampuan mengendalikan emosi dan mempunyai integritas sikap yang baik, misalnya kejujuran, tanggung jawab, kepemimpinan dan lainnya, baru peringkat selanjutnya adalah karena keilmuwan mereka dan kemampuan skill mereka. Bagaimana pendapatmu?


Read more...

PERLUNYA SERVICE EXCELLENT BAGI GURU

>> Tuesday, 12 May 2009


Wahai pembaca, hari saya ingin menulis tentang pentingnya service excellent bagi guru, sebenarnya saya ingin menulis topik ini sejak lama, saya begitu gemas ketika saya mengurus sesuatu di kantor pemerintahan atau kantor sekolah dan menjumpai karyawan, pegawai bak patung, yang diam membisu, kurang ramah, kurang senyum, acuh tak acuh. Saya kadang heran mereka digajih kan karena pelayanan mereka, tapi mengapa mereka tidak melayani dengan sepenuh hati, apalagi kalau sudah siang, mereka sudah capek, wah…salah sedikit, mereka bisa emosi. Hee……hee….kok gitu ya… biasanya kalau saya dalam posisi mengurus sesuatu seperti itu, saya harus berusaha menyiapkan diri agar tidak terpancing, berusaha sabar, merendah, sedikit agak bodohi, biar mereka mau melayani dengan baik.


Beda dengan karyawan atau teller bank, mereka menyambut setiap tamu atau nasabah dengan senyum yang mengembang, menyapa dengan sapaan yang halus dan sopan, “selamat pagi pak”, “selamat siang pak”, selanjutnya mereka menawarkan diri untuk membantu nasabah tersebut, dengan sapaan , “bisa dibantu pak?” wah …wah.. kita dihormati dan dihargai. Akhirnya kitapun puas dan menyampaikan ke orang lain bahwa bank tersebut layak/recommended untuk menyimpan uang kita.

Bagaimana dengan guru, seringkali kita juga mendengar bahwa kalau ada wali murid atau orang tua yang datang ke sekolah menanyakan tentang perkembangan anaknya, kadang guru juga kurang ramah, kurang senyum dan acuh tak acuh dalam melayani, lebi parah lagi kepala sekolahnya sama juga, wah…wah…heeeebat. Nah disinilah pentingnya service excellent bagi guru, agar guru dapat melayani siswa, orang tua, dan para tamu sekolah dengan pelayanan yang prima atau istilahnya adalah best service (servis yang terbaik) dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun sebagaimana karyawan atau teller bank di atas.

Dalam materi service excellent, kita dituntut untuk melayani dengan sebaik-baiknya, senyum harus mengembang, berbicara harus lugas dan jelas, tidak bertel-tele, komunikasi nampak akrab, bagaimana mengakhiri pembicaraan tamu yang kebablasan dan betele-tele dengan cara yang sopan, bagaimana bahasa tubuh dan mimik wajah yang menandakan kehangatan dan keakraban, dan sebagainya.

Saya tidak dapat membayangkan jika para karyawan di kantor-kantor pemerintah yang bertugas dalam pelayanan masyarakat melayani masyarakat dengan cekatan, sabar dalam membimbing dan lugas dalam menerangkan, jika para guru di seluruh negeri ini melayani siswa, orang tua dan tamu sekolah dengan baik, sopan, senyum senantiasa mengembang, dan sabar. Maka saya yakin. Masyarakat akan senang, mereka datang mengurus urusannya masing-masing tidak menyuruh calo, tidak menyuruh pembantu, mereka tidak takut apalagi ogah-ogahan. Sesungguhnya biang percaloan di Indonesia ini diantara salah satu sebabnya adalah kurangnya service excellent dibagian pelayanan. Bagi dunia pendidikan, dengan dikembangkannya service excellent bagi guru di semua sekolah, maka orang tua tidak merasa takut datang ke sekolah dan tidak segan mengkomunikasikan perkembangan putranya. Jika hal itu terjadi maka tinggal nunggu kebangkitan negeri ini. Lho kok bisa?

Begini, tugas membimbing seorang anak itu yang utama adalah orang tua, guru hanya membantu membimbing di sekolah, dengan keterbatasan waktu, maka guru tidak dapat mengawasi terus menerus siswanya, nah, inilah tugas orang tua di rumah. Jika ada kerjasama dan komunikasi aktif antara orang tua dan guru, maka hampir 90 % permasalahan siswa akan teratasi, Dan hal akan secara otomatis akan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa, baik kognitif, afektif maupun psikomotornya. Jika hasil belajar siswa berkualitas maka kualitas bangsa akan meningkat. Bagaimana pendapat anda?

Oleh mudzakkir Hafidh

Read more...

JAGALAH MARTABAT & LAKSANAKAN AMANAH

JAGALAH MARTABAT & LAKSANAKAN AMANAHMU


Wahai pembaca setia blog pendidikan, alhamdulillah perbulan Mei 2009 ini penulis menerima amanah dari negara melalui Pemerintah Kota Surabaya untuk menjadi guru PNS, menerima amanah ini hati saya gemetar dan bertanya, bisakah saya menjaga dan menjalankan amanah dengan baik dan benar? Apakah saya tetap bisa komitmen dan bekerja keras sebagaimana ketika saya mengabdi di SD Raudlatul Jannah ? dan banyak lagi pertanyaan yang berkutat pada hal-hal seputar amanah, belum lagi istri saya yang senantiasa mengingatkan untuk senantiasa menjaga diri, berhati-hati, bekerja yang benar, dan melindungi keluarga dari rizki-rizki yang kurang halal. Wa…wa…..wah harus hati-hati nih.


Mendengar kata Pegawai Negeri, saya jadi mikir yang tidak-tidak, dari dulu sampai sekarang kesannya sih agak kurang baik, terutama dari hal kinerja (mohon maaf lho), meskipun akhir-akhir ini, banyak juga para pegawai negeri yang ingin berkomitmen untuk bekerja professional dengan niat beribadah dan pengabdian pada negara. Begitu juga para pimpinan di masing-masing kedinasan, termasuk di Dinas Pendidikan Kota Surabaya, ingin agar para pegawai dan karyawan di lingkungan dinasnya bekerja dengan professional, melayani masyarakat dengan hati, disiplin waktu, kerja cerdas dan berkualitas.

Dalam acara pembekalan bagi para Calon Pegawai (CAPEG) dilingkungan Dinas Pendidikan kota Surabaya, hari Selasa, tanggal 6 Mei 2009, Kepala Dinas Pendidikan Drs. Sahudi, M.Pd, mengingatkan kepada para CAPEG untuk bekerja professional, dan disiplin dalam menjalankan tugas. Menurutnya disinyalir masih banyak guru yang kurang professional, asal-asalan dalam mengajar, kurang disiplin serta tidak dapat dijadikan tauladan . Bahkan beliau sempat marah ketika ada beberapa peserta yang terlambat hadir pada acara tersebut. Beliau mengancam akan memutuskan dan tidak meneruskan guru-guru yang sering terlambat datang ke sekolah pada masa CAPEG ini untuk menjadi Pegawai Negeri (PNS), selanjutnya beliau bilang kalau guru, yang seharusnya menjadi tauladan para siswa, sering datang terlambat, maka bagaimana dengan siswanya.

Martabat guru harus dijaga, guru adalah manusia pilihan pengemban amanah yang besar, guru adalah manusia super, pencetak generasi unggul, karena gurulah kualitas atau mundurnya sebuah generasi, guru juga penentu maju mundurnya suatu bangsa. Oleh karena itu harapan dari Kepala Dinas Pendidikan sebagai mana yang tersebut diatas, mari kita laksanakan dengan ikhlas dan sepenuh hati dengan niat beribadah pada Allah SWT dan niat mengabdi pada negara. HIDUP GURU…. SUKSES GURU…… JAYALAH INDONESIA. Bagaimana pendapat anda?

Oleh Mudzakkir Hafidh

Read more...

MERUBAH TATA PANDANG FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN UNJUK KERJA

>> Friday, 8 May 2009

Oleh Aries Musnandar


Kalau saat ini kita tanyakan kepada para guru, siapa anak yang terbaik di kelas, maka sang guru biasanya tentu akan menunjuk seorang anak yang secara intelektual cerdas dan juara kelas. Di lingkungan kampus, mahasiswa sukses dinilai dari indikator Indeks Prestasi (IP), semakin tinggi IP mahasiswa semakin berhasil dia dimata civitas akademika. Beragam Ujian Nasional dan tes masuk sekolah dan perguruan tinggi mengindikasikan bahwa kecerdasan intelektual atau kemampuan berpikir kognitif sangat diperhatikan dan dipentingkan dalam pendidikan kita. Bahkan, di dunia kerja para perekrut dan pimpinan perusahaan memberikan persyaratan awal yaitu para calon karyawan harus memiliki IP akademik yang relatif tinggi. Kemudian, para pelamar kerja tersebut ketika mengikuti seleksi masuk perusahaan akan menghadapi sejumlah tes yang lebih mengarah untuk mengetahui tingkat kemampuan intelektual pelamar.


Fenomena yang diungkap diatas menunjukkan bahwa kecerdasan oleh sebagian orang tereduksi menjadi sebatas kemampuan intelektual dan dipandang sebagai kunci sukses hidup. Seolah-olah hanya dengan kecerdasan intelektual yang tinggi kita akan dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dengan baik. Padahal, kemampuan intelektual lebih tepat untuk mengatasi masalah bersifat akademik atau yang menuntut kemampuan berpikir kognitif saja. Tolok ukur tingginya kecerdasan intelektual seseorang dapat dicermati dari hasil skor IQ (Intellegence Quotient). Menurut para ahli Psikologi Pendidikan, IQ adalah sesuatu yang telah dibawa seseorang sejak lahir dan tidak bisa berkembang banyak. Namun, dalam dunia pendidikan dan sektor di luar pendidikan secara praksis kita sering jumpai suatu tata pandang bahwa kecerdasan intelektual menjadi suatu kriteria dan faktor penentu keberhasilan seseorang. Semakin tinggi skor IQ individu, semakin tinggi kecerdasan intelektualnya, yang berarti dalam tata pandang ini individu tersebut akan dianggap sebagai orang yang sukses dan berhasil.

Pada awalnya banyak pihak melihat keberhasilan seseorang dikaitkan dengan tingkat IQ. Makin tinggi skor IQ seseorang, menurut asumsi semula, akan semakin “sukses” hidupnya. Belakangan terdapat sejumlah temuan menarik yang menunjukkan bahwa ternyata ada aspek lain yang berperan dan menjadi faktor penentu keberhasilan seseorang. Aspek lain itu disebut dengan Emotional Intelligence (EI). Temuan ini menunjukkan bahwa kecerdasan dapat diperluas tidak hanya berupa kemampuan intelektual tetapi juga kecakapan emosional. Bahkan dari berbagai penelitian dan pengamatan praksis di dunia usaha terdapat hubungan yang cukup signifikan antara kecakapan emosional dan keberhasilan seseorang dalam menampilkan unjuk kerja yang terbaik (top performer). Ternyata, 80% keberhasilan ini disumbangkan dari faktor EI, sedangkan, 20% lainnya berasal dari aspek IQ atau kemampuan intelektual. Hal ini bukan berarti IQ tidak penting sebab IQ atau kecerdasan intelektual diperlukan untuk menguasai keahlian bersifat akademik dan kompetensi teknis (hard skills).

Antara EI dan IQ
Dunia kerja merupakan dunia interaksi antara berbagai macam perilaku manusia dengan sejumlah watak dan tipe kepribadiannya masing-masing. Anak-anak didik termasuk mahasiswa pada akhirnya pun kebanyakan akan mencari pekerjaan. Ketika berinteraksi dengan orang lain di tempat kerja, mereka memeerlukan suatu kecakapan tertentu dalam mengimplementasikan keahlian akademik atau teknikal yang dimilikinya. Kecakapan dimaksud diantaranya kemampuan dalam mengelola dirinya sendiri (intra-personal skills) dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain (inter-personal skills). Kedua kecakapan ini di dunia usaha dan industri sering disebut dengan soft skills atau kecakapan pendukung..

Antara EI dan kecakapan pendukung memang berkaitan, karena EI ibarat “engine” atau mesin bagi sebuah mobil yang bernama kecakapan pendukung. Mesin yang selalu di rawat keberadaannya akan membuat mobil berjalan dengan baik. Seseorang yang memiliki kemampuan akademik dan teknikal tinggi tidak akan bisa menjadi Star Performer tanpa penguasaan kecakapan pendukung. Dalam perspektif pengembangan, skor EI seseorang bisa meningkat apabila didukung dengan lingkungan yang kondusif. Untuk membuat organisasi yang berbingkai EI baik di kelas maupun di kantor, diperlukan kondisi atau suasana yang diejawantahkan dalam situasi dan kondisi sebagai berikut: menghindari tindakan sewenang-wenang (otokratik), iklim keterbukaaan dan saling percaya antar anggotanya (trustworthiness), empati dan saling pengertian, menghargai prestasi individual serta secara emosional para anggota organisasi tersebut sangat dekat (close relationships). Apabila suasana ini dipelihara dengan baik, maka peningkatan EI para anggota organisasi itu merupakan suatu keniscayaan.

Tumbuh-kembang EI dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, melalui pelatihan atau pembelajaran, magang (on the job), serta iklim dan suasana demokratis. Jika konsep kecakapan emosional sebagai faktor penentu keberhasilan dapat diterima dengan baik oleh para pengambil keputusan, maka konsekuensinya adalah sejumlah kegiatan praksis perlu dikaji ulang. Berdasarkan hal ini, tes-tes, ujian-ujian (termasuk Ujian Nasional) baik di sekolah maupun di perguruan tinggi termasuk mungkin tes-tes karyawan di perusahaan (dunia kerja) tentu perlu ditata ulang jenis tes dan kriteria keberhasilannya. Penyelenggaraan tes dan ujian yang dilakukan sebaiknya tidak menyediakan porsi besar bagi pengukuran kemampuan berpikir kognitif atau kemampuan intelektual, tetapi juga perlu mempersiapkan alat ukur untuk mengetahui tingkat EI nya. Disamping itu, pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi juga perlu memperhatikan tumbuh-kembangnya EI berikut kecakapan pendukungnya tersebut. Tata pandang kita terhadap kecerdasan harus diubah dari kecerdasan intelektual menjadi kecerdasan emosional sebagai penentu peningkatan keberhasilan individual performance (unjuk kerja) yang ujung-ujungnya juga unjuk kerja bangsa dan atau organisasi secara keseluruhan.

*Penulis adalah konsultan SDM dan sedang melanjutkan studi S3 Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang.


Read more...

GURU BEDA DENGAN BURUH


Salam sukses wahai guru, kemarin saya menghadiri serah terima Surat Keputusan (SK) pengangkatan Pegawai Negeri Sipi (PNS) di lingkungan kota Surabaya oleh Bapak Bambang D.H. selaku Walikota Surabaya. Berceramah di hadapan sekitar 300 calon guru negeri dari formasi umum tahun 2008. Dalam ceramah yang penuh dengan nasihat, humor, dan kisah pengalaman pribad beliau, beliau menyampaikan bahwa guru itu tidak sama dengan buruh, tidak samanya dalam hal apa, mari kita simak selanjutnya tulisan ini.


Guru merupakan jabatan profesi, sama dengan dokter, notaris, lawyer, akuntan. Yang dalam tugasnya mempunyai kode etik tertentu dan didasari dengan keahlian, kelimuan, dan responsibility (tanggung jawab). Jadi tidak boleh asal bekerja, asal mengajar, semua harus ada ilmunya, teorinya, strateginya, dan landasan berfikirnya.
Beliau bilang, kalau buruh dalam mengerjakan pekerjaannya harus nurut sama majikan yang menggajinya, majikan bilang apa, maka buruh harus nurut, manut, sami’na wa-atho’na, sendiko dawuh sama bosnya tersebut. Beda dengan dokter yang mempunyai profesi membantu mengobati sakit pasiennya, jika ada seorang pasien yang datang kepadanya, meskipun ia sudah membayar tertentu, jika ia minta sesuatu yang tidak sesuai dengan kode etik dokter dan ilmu serta teori pengobatan dokter, maka dokter berhak menolak, itulah profesi, yang kebanyakan orang menyebutnya dengan professional.

Begitu juga dengan guru, jika guru sebagai seorang professional, maka ia akan bekerja berdasarkan kode etik, ilmu, dan teori tertentu. Ia tidak boleh melanggarnya, meskipun ada kekuatan yang menghadangnya, baik kekuasaan atau kekayaan. He..hee..he…kok jadi takut ya..misalnya begini. Ada orang tua/wali murid datang ke rumah guru untuk meminta sesuatu terkait dengan nilai atau peringkat anaknya di kelas, tidak lupa ia membawa uang atau hadiah tertentu, maka dengan keadaan seperti itu guru harus berlaku profesional, bertindak tegas sesuai kode etiknya. Ingat, guru bukan buruh yang senantiasa menuruti kehendak majikannya.

Dalam kasus kedua, jika atasan meminta kepada guru untuk membantu siswa dalam ujian tertentu misalnya UNAS, dengan harapan siswa sekolah tersebut lulus 100 %, maka guru juga harus bertindak sesuai dengan keahliannya dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Kode etik sudah jelas, maka jangan takut pada atasan, taatilah kode etik yang sudah disepakati, keilmuan yang sudah dipelajari dan tanggungjawab pada diri sendiri dan pada Allah. Bagaimana pendapat anda?


Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP